Kemajuan teknologi dan sains telah membawa efektivitas dan efisiensi industri kesehatan sehingga bisa menjangkau lebih banyak orang di pelosok wilayah. Kemudahan akses pada layanan perawatan kesehatan ini diharapkan bisa meningkatkan kualitas hidup dan umur warga.
Telemedicine menjadi salah satu perkembangan terbaru di industri ini yang populer imbas pandemi COVID-19. Saat itu, telemedicine berhasil membantu pasien untuk berkonsultasi dengan dokter, melakukan diagnosis, dan pengobatan dari jarak jauh.
Perkembangan kecerdasan buatan (AI) ikut berkontribusi memodernisasi layanan kesehatan. AI berpotensi membantu dokter untuk membuat diagnosis yang lebih cepat dan akurat, memprediksi hasil kesehatan, dan melakukan asistensi rencana perawatan. Layanan berbasis AI seperti chatbots dan asisten virtual, juga bisa dimanfaatkan untuk menjembatani komunikasi layanan kesehatan dengan pasien.
Pengobatan yang efektif, teknik diagnostik yang lebih akurat, dan sistem pemberian obat yang lebih baik diarahkan untuk memperbaiki sistem perawatan, pengobatan, dan prognosis pasien. Selain itu, kemajuan teknologi juga diharapkan bisa mengurangi biaya perawatan kesehatan lantaran operasional yang makin efisien.
Menggali potensi dari celah di teknologi kesehatan
Lawrence Ho Khek-Yu, Konsultan Senior & Profesor National University Hospital, Singapura sepakat kalau COVID-19 memang membantu mempopulerkan telemedicine. Meski demikian, ia merasa layanan ini masih sulit untuk menggantikan layanan konsultasi tatap muka. Menurutnya, telemedicine saat ini memiliki peran penting dalam hal konsultasi, namun masih memiliki sejumlah kelemahan dibanding diagnosis tatap muka.
“Jika Anda menggunakan konsultasi video, Anda hanya dapat melihat tapi Anda tidak dapat memeriksa. Tentu saja pemeriksaan adalah hal yang penting. Semestinya kita bisa memiliki kemampuan yang sama serupa dengan pertemuan tatap muka. Menurut saya, alat pengujian untuk melakukan diagnosa masih kurang pada layanan telemedicine,” jelas Lawrence dalam wawancara dengan CEO & Pemimpin Redaksi OpenGov Asia, Mohit Sagar.
Kedua, layanan telemedicine masih harus mematangkan ekosistem pendukung, salah satunya terkait dengan pengantaran obat. Di Singapura, layanan pengantaran obat bisa dikirim dalam satu minggu. Hal ini tentu akan menghambat proses pengobatan ketimbang langsung datang dan diberi obat ketika melakukan kunjungan tatap muka.
Meski demikian, Lawrence menyebut layanan telemedicine masih dilakukan di masa setelah COVID-19 untuk pasien yang kondisinya sudah cukup stabil di rumah. Sementara sebagian besar pasien sudah kembali melakukan kunjungan tatap muka seperti biasa.
Selain itu, penjelasan yang bisa dilakukan lewat telemedicine menurut Lawrence masih terbatas. Ia merasa kesulitan jika harus melakukan penjelasan dengan tambahan gambar yang dengan mudah dilakukan dalam pertemuan tatap muka secara langsung.
Selain itu, ia pun menaruh perhatian pada kesulitan akses teknologi yang dialami oleh pasien lanjut usia. Telemedicine sulit untuk membaca dan menyampaikan aspek nonverbal dan emosional dari interaksi langsung.
Ia menekankan industri medis perlu mengembangkan dan meningkatkan metode untuk mendiagnosis dan merawat pasien. Ia berharap telemedicine bisa mendukung diagnosis dengan memanfaatkan sejumlah panca indera untuk memeriksa gejala. Dalam pertemuan tatap muka, dokter bisa langsung mengukur detak jantung dengan stetoskop, merasakan dengan sentuhan jari, pendengaran, atau diagnosis sensoris lain untuk mendapat data dari pasien. Kesamaan proses diagnosis seperti inilah yang perlu dikembangkan untuk layanan telemedicine ke depan.
Untuk memperbaiki layanan perawatan medis jarak jauh, semua kekurangan itu perlu ditambal. Tambahan sensor, metaverse dan kecerdasan buatan (AI) dapat dimungkinkan untuk melakukan hal ini dan membantu menganalisa data pasien yang lebih akurat dan komprehensif. Ia optimis kemajuan teknologi bisa mengatasi semua kelemahan itu karena saat ini kita sedang berevolusi untuk meningkatkan layanan telemedicine secara bertahap.
Sebagai seorang investor, menurut Lawrence, inovasi itu menjadi pendorong inovasi yang cukup besar. Namun, agar bisa lebih berdampak, menurutnya baik inovator, akademisi, dan startup mesti benar-benar menyentuh permasalahan di akar rumput. Selama ini, penelitian-penelitian yang dilakukan para edukator kurang peka dengan kebutuhan masyarakat. Mereka melupakan mengapa mereka ada di institusi akademis yang semestinya menelurkan solusi bagi masyarakat. Begitupula dengan para investor. Mereka pun mesti memiliki visi untuk melayani dan menyelesaikan masalah di masyarakat terlebih dulu sebelum menajamkan sasaran ke ceruk pasar yang lebih sempit.
LKYGBPC untuk majukan entrepreneurship
Bagi Lawrence, inovasi berangkat dari inisiatif untuk menyelesaikan masalah dan mengeksekusi ide solusi itu dengan kedisiplinan. Disiplin dalam memperbaiki produk, mengelola konsumen, membangun tim dan organisasi, serta mengelola keuangan. Lawrence menganggap kompetisi bisnis internasional seperti LKYGBPC bisa memberikan kesempatan bagi para pebisnis muda untuk melakukan ekspansi pasar ke negara lain.
Prof Lawrence menjadi investor di tiga startup. Pertama adalah Master and Slave Transluminal Endoscopic Robot (MASTER). MASTER kini telah diintegrasikan menjadi Endomaster, startup MedTech yang paling banyak mendapat kucuran dana di Asia pada 2017. Ia pun mendanai startup di bidang fotonik dan bioteknologi yang mengembangkan peringatan dini dibidang kesehatan.
Berdasarkan pengalaman memiliki tiga startup teknologi kesehatan, Lawrance menyarankan agar startup perlu fleksibel dan membuka diri. Mereka mesti bersedia menerima masukan dari konsumen, tim, dan mereka yang lebih ahli. “Saya merasa bahwa beberapa inovator sangat protektif terhadap produk mereka sendiri, mereka pikir ini adalah bayi mereka.”
Sebab, dari berbagai masukan itu, founder dan tim bisa memetakan dengan cepat berbagai tantangan yang mungkin mereka hadapi di sepanjang jalan. Setelah itu, mereka mesti menemukan orang yang tepat untuk memecahkan tantangan tersebut.
Mereka pun harus berjuang untuk mewujudkan apa yang mereka janjikan dari konsep yang diajukan. Menurut Lawrence, beberapa orang lebih jago menuliskan ide mereka di kertas dan Power Point ketimbang terjun langsung ke lapangan.
“Para pejuang kertas dan Power Point sangat sulit untuk berhasil. Anda harus benar-benar melakukannya hingga berdarah-darah, hingga Anda menguasai dan memenangkan pertempuran,” tegasnya.
Tantangan berikutnya untuk startup kesehatan adalah soal regulasi. Startup perlu menemukan ahli untuk membantu merancang uji klinis agar lolos berbagai uji klinis dan regulasi.
Tantangan yang terakhir adalah masalah komersialisasi produk. Bagaimana menghasilkan pendapatan dari produk yang akan dijual.