expert opinions
Powered by :
EXCLUSIVE! Digital Resilience: Prioritising Cybersecurity in Manufacturing Operations
EXCLUSIVE! Revolutionising Life Sciences: Breakthroughs with Global Impact
Maraknya penggunaan smartphone dan pertumbuhan berbagai platform layanan perjalanan hingga pemesanan hotel digital telah memudahkan perjalanan wisata. Wisatawan bisa merencanakan, memesan, dan menikmati liburan mereka hanya lewat smartphone atau laptop mereka.
Kemajuan digital ini pun memaksa seluruh proses dan dinamika industri pariwisata untuk berubah. Pelaku di industri wisata mau tak mau mesti mengikuti perkembangan teknologi untuk meningkatkan kenyamanan dan hiburan wisatawan selama perjalanan mereka. Pemesanan online, situs web interaktif, dan pemasaran media sosial menjadi semakin lumrah.
Instansi pemerintah yang terlibat di sektor ini juga memanfaatkan alat digital canggih untuk mendapatkan fleksibilitas, pengawasan, dan efisiensi untuk mengelola operasi mereka. Tak terkecuali Filipina. Baru-baru ini, Presiden Filipina Bongbong Marcos Jr. menggadang-gadang industri pariwisata di negara itu sebagai alat potensial untuk keuntungan ekonomi.
Industri pariwisata tak sekadar sarana untuk mempromosikan pulau-pulau indah di negara tersebut. Tapi, dengan bantuan teknologi, sektor ini bisa menjadi landasan strategi pertumbuhan ekonomi Filipina. Presiden Marcos Jr. bahkan memasukkan sektor pariwisata ke dalam rencana induk pertumbuhan ekonomi negara.
Komitmen Filipina untuk industri wisata
Belum sampai sebulan menjabat, Presiden Filipina Bongbong Marcos Jr. telah menunjukkan dukungannya untuk pertumbuhan industri pariwisata. Ia menekankan perlunya menciptakan lingkungan dan infrastruktur yang mendukung lewat digitalisasi agar sektor ini bisa memberikan kontribusi fiskal bagi negara.
Sejalan dengan visi Presiden, Sekretaris Departemen Pariwisata, Maria Christina Garcia Frasco, dengan gigih mengadvokasikan digitalisasi dan kolaborasi antardepartemen. Selain mendorong kolaborasi internal, Departemen Pariwisata (DOT) juga melibatkan pemangku kepentingan eksternal. Mereka juga mendorong partisipasi warga negara untuk menjadikan Filipina sebagai tujuan utama para pelancong. Badan tersebut mengakui warga memiliki peran penting sebagai corong promosi pariwisata.
Untuk menunjang infrastruktur, DOT membuat kesepakatan penting dengan Departemen Teknologi Informasi dan Komunikasi (DICT). Mereka berkomitmen untuk meningkatkan konektivitas internet di berbagai lokasi tujuan wisata agar menjadi urat nadi kemajuan dan promosi industri pariwisata di Filipina.
Selain itu, DOT bertanggung jawab untuk mempromosikan dan membina pengembangan pariwisata sebagai salah satu pilar sosial ekonomi penting negara. Mereka mesti mendorong dan mengundang calon investor asing, serta menyebarkan manfaat pariwisata di sektor publik dan swasta.
Peta digitalisasi pariwisata
DOT lantas memprakarsai situs Bisita Be My Guest dari Departemen Pariwisata yang memberikan informasi seluruh destinasi wisata di Filipina. Tujuannya untuk menyediakan platform yang dapat diakses wisatawan untuk menjelajahi berbagai lokasi wisata dan sarana promosi guna mendorong pelancong untuk berkunjung. Situs ini terbentuk dari kolaborasi semua kantor regional DOT dan unit pemerintah daerah (LGU).
Menurut Paul Brian Lao, OIC, Divisi Teknologi Informasi, Departemen Pariwisata (DOT), Filipina, situs itu berhasil mendorong partisipasi masyarakat dalam mempromosikan pariwisata di Filipina. Sebab, pengguna yang mendaftar di situs ini bisa mendapat promo di berbagai destinasi wisata yang turut berpartisipasi dalam program diskon itu.
Dari sisi internal, Lao pun memimpin inisiatif untuk melakukan efisiensi. Mereka membuat rencana perampingan, penguatan, dan integrasi data dan sistem di Filipina. Rencana ini sudah dimulai di bawah pemerintahan mantan Presiden Benigno Aquino III.
Untuk pengelolaan data, Departemen Pariwisata bermigrasi ke data lake dan gudang. Mereka pun memanfaatkan AI untuk melakukan analisis bisnis. Kementerian ini pun mempercayakan penerapan aplikasi mereka pada teknologi cloud. Untuk menjamin ketersediaan layanan, mereka menerapkan strategi aktif-pasif. Dengan demikian, penyimpanan lokal berfungsi sebagai cadangan ketika terjadi gangguan dengan penyimpanan cloud. Strategi ini memastikan efisiensi dan keandalan maksimum dalam operasi di DOT.
Untuk meningkatkan layanan bagi para pelaku bisnis pariwisata, DOT berencana untuk meningkatkan sistem internal. Menurut Paul, peningkatan kolaborasi antar instansi pemerintah akan menjadi kunci kemajuan DOT untuk mendukung industri pariwisata. Saat agensi ingin meluncurkan layanan baru, integrasi sistem dan data dari berbagai agensi dibutuhkan untuk mempercepat proses.
Tahun ini, Divisi TI DOT akan fokus pada pengamanan infrastruktur dan sistem yang akan membantu strategi data mereka. Rencana ini telah disetujui oleh DICT sehingga mereka bisa membangun sistem untuk mempersingkat waktu pemrosesan layanan bisnis, termasuk akreditasi perusahaan terkait pariwisata.
Dalam industri yang bergerak cepat dan dinamis seperti pariwisata, tantangan lain yang dihadapi Paul adalah menjaga akurasi dan pembaruan data. Mereka sempat mencoba meningkatkan akurasi dan pembaruan data dengan menambah keterlibatan berbagai pemangku kepentingan. Namun, nyatanya hal ini malah menambah kerumitan pengelolaan. Kini, untuk memastikan akurasi, mereka memilih untuk melakukan audit rutin untuk pembersihan data dan memberikan informasi terbaru.
Masa depan pariwisata
AI, ML, augmented reality, virtual reality, analitik big data, dan blockchain saat ini dipandang sebagai teknologi yang dianggap bisa meningkatkan industri pariwisata dan kenyamanan pelanggan. AI dan ML dapat digunakan untuk menyesuaikan rencana perjalanan individu, menawarkan saran untuk tujuan wisata, aktivitas, dan akomodasi.
Keduanya juga dapat meningkatkan kemampuan pencarian dan mempercepat proses reservasi, membuatnya lebih cepat dan nyaman bagi konsumen untuk merencanakan dan memesan perjalanan mereka. Tur virtual bisa membuat pelancong merasakan dan memahami lokasi liburan yang mereka tuju sebelum melakukan pemesanan. Augmented dan virtual reality memungkinkan wisatawan untuk menjelajahi tujuan secara virtual, melihat lokasi dan atraksi yang ditawarkan, hingga belajar tentang sejarah dan budaya suatu tempat.
Kemudian, teknologi blockchain bisa meningkatkan keamanan, transparansi, dan kepercayaan dalam industri pariwisata. Teknologi ini bisa digunakan untuk memastikan keabsahan surat perjalanan hingga memungkinkan pembagian informasi sensitif yang aman antara pelancong dan penyedia layanan.
Analitik big data dapat membantu industri pariwisata lebih memahami perilaku dan selera pelanggan serta memberikan wawasan yang dapat digunakan untuk meningkatkan pengalaman perjalanan secara keseluruhan dan meningkatkan efisiensi bisnis.
Pada akhirnya, kemajuan dalam teknologi terkait pariwisata menyediakan peluang yang berlimpah bagi para pemangku kepentingan di sektor ini. Ada banyak peluang bisnis global untuk dijelajahi, dan pemerintah harus bersiap untuk menghadapi lonjakan data, informasi, dan transaksi.
Changi Airport Group (CAG) has been recognised by OpenGov Asia for its initiative aimed at scaling innovation and delivering customer-centric services. CAG’s Accelerator program fuels employee creativity and accelerates employees’ implementation of ideas, helping to propel the company towards its aspiration of becoming the most innovative company in Singapore.
In today’s fast-paced and ever-changing business landscape, organisations need to be agile, responsive, and innovative to stay competitive and successful. Corporate Accelerator Programmes assist businesses in discovering and implementing new ideas, accelerating growth, fostering innovation and developing new business models. These initiatives reflect the current needs and facilitate their ability to keep up with the changing times.
CAG’s establishment of its Accelerator program in June 2021 underscores its commitment to strengthening the company’s culture of internal innovation. The primary purpose of establishing the office was to accelerate innovation across all levels in CAG and fulfil CAG’s talent promise (especially for digital and technology talents) of being an exciting and innovative place where individuals can initiate new projects to transform operations and creating fresh consumer and traveller experiences in Changi.
Employees can also use CAG Accelerator to gain access to an internal network of consultants to help them sharpen problem descriptions and develop solution approaches.
CAG has been awarded the prestigious OpenGov Asia Recognition of Excellence Award, which will be presented at the 8th Annual Singapore OpenGov Leadership Forum 2023.
Changi Airport Group’s role in sparking innovation
In an exclusive interview, Chong Chan Meng, Vice President, Organisation Process Transformation & Digitalisation at Changi Airport Group spoke about CAG’s ambition and plans to be the most innovative company in Singapore.
CAG had already established several Centers of Excellence (CoEs) by 2021, including DIVA for Digital Experimentation, Data Science, Robotics Process Automation, Low Code Development, and Artificial Intelligence (AI).
“While a few of the CoEs were more established, having been helping teams for 2-3 years, others were more nascent then,” Chan Meng recalls.
Even though the CoEs promoted their services and solutions internally, CAG realised that it was unrealistic to expect all 1,900 employees then to be familiar with the CoEs and how the CoEs could support them in their work.
“We needed a way to connect staff who had ideas or problem statements with resources, like the CoEs, to help them implement solutions. We were also in the middle of the COVID pandemic when financial resources were stretched, and it was imperative that we leveraged in-house capability, like the CoEs, as much as possible. So, the CAG Accelerator was set up as the one-stop internal consulting office, which would bounce ideas with CAG staff or teams, and help them move forward with their idea or problem when they were not so sure how to do so, or which CoEs to approach,” Chan Meng explains.
In partnership with the CoEs, CAG’s Innovation Team, and CAG’s People Development & Experience Team, CAG launched the CAG Accelerator, which was sponsored by the former Managing Director of the People Team, Justina Tan (now Executive Vice President for Corporate, People, and Culture), and supported by the CAG leadership.
The current Accelerator Team comprises Chong Chan Meng, Vice President, Organisation Process Transformation & Digitalisation and Audrey Tan, Programme Manager for Accelerator and Low Code CoE. Both underscore their organisation’s commitment to strengthening their internal innovation culture.
They staff the Accelerator with Business Analysts who are adept at cutting through layers of considerations to sharpen hypotheses and problem statements. These analysts have an innate interest in technology and can imagine how to apply technology to solve problems.
They are skilled at asking the five whys, challenging the status quo, and demonstrating empathy for the employee who may not know what solution options are available or how to navigate the organisation to access them.
Even though CAG has a healthy culture of cross-cluster collaboration, some employees may not be used to asking for help outside of their department or division. The CAG team was committed to making sure that the employee’s first contact with the Accelerator would be safe and friendly.
“Asking for help or proposing a new idea is an act of vulnerability because some of us may feel like we’re paid to know how to solve problems or because our ideas may be judged,” Chan Meng says.
CAG, and especially the Accelerator, have made it a norm for people to seek assistance and propose ideas that are not yet fully formed. The Accelerator has a “No Wrong Door” policy and ensures that everyone who consults them understands what the next step is and how to take it.
When a problem or idea is ahead of its time, the CAG Innovation team steps in to help connect the idea owner with CAG’s network of startups and research institutes to explore potential solutions.
“CAG colleagues come to us typically anxious or uncertain about whether their idea can be implemented or whether their problem can be solved. And most times, they leave the Accelerator consultation seeing possibilities and knowing how to take the next step,” Chan Meng is happy to share.
The work of the Accelerator is to identify solution options, design solution approaches and connects clients with the resources necessary to implement their solutions. Although they do not implement the solutions, they regularly check in with the teams during their solution development journey to see if they can assist in removing obstacles and ensuring progress.
After a client has deployed a solution, the team will check in 3-6 months later to assess the actual impact that the solution has delivered for their customers and CAG.
Speaking about challenges and lessons learned during the programme’s implementation and how they were addressed, Chan Meng recalls. “One of the immediate challenges we faced when we set up the Accelerator was – how do we get CAG colleagues to know about the Accelerator and use our consultation services?”
In June 2021, the team was already operating the Low Code CoE and running Low Code clinics to assist teams in designing and implementing Low Code solutions for their use cases. The Low Code clinics were converted into Accelerator consultation sessions.
Initially, most of the consultations focused on Low Code use cases. As they raised awareness of the Accelerator through email blasts and roadshows to the various divisions, they began to see other types of ideas and problems at the consultations.
“If any company out there wishes to set up a similar consulting outfit like the CAG Accelerator, I recommend pairing it with some delivery capability,” Chan Meng believes.
Chan Meng is emphatic that the Accelerator team should be integrated with a Center of Excellence (CoE) capable of implementing and providing solutions to some of the Accelerator’s clients. Although the same team members may be wearing two different hats, one for the Accelerator and one for the CoE, the ability to deliver tangible solutions via the CoE for some of the Accelerator customers helps the team members build credibility within the organisation, and in turn, builds credibility for the Accelerator.
The Accelerator tracks both input and output indicators of success. They measure input indicators such as the percentage of CAG members who were aware of the Accelerator programme (84% based on annual survey data from January 2023) and the number of use cases they consulted for (74 in the last 12 months).
They also track output or impact indicators such as revenue created, costs avoided or productivity man-days saved because of the implemented ideas or solutions, as well as qualitative impacts such as improved UX, increased accuracy and better compliance. However, these metrics are more difficult to collect, as they rely on the various teams to measure, evaluate and report.
One metric for the CAG Accelerator of which Chan Meng is particularly proud is the perceived value added by the Accelerator and the consulting panel to the teams that consult with them.
“We survey the teams after walking with them through part of the solution design and their implementation, and we consistently score above 70 for our Net Promoter Score,” Chan Meng reveals.
Measuring success is important because the feedback gives them the confidence and conviction that the Accelerator has become a key enabler for new innovators in CAG. Additionally, the input and information allow the team to modify their approach and offerings to stay relevant and useful for CAG teams.
Chan Meng reveals that the Accelerator recently launched a new What iF? Day programme in support of CAG’s innovation drive. “One of the challenges we identified from ideators and innovators in CAG is that we don’t really have a good way to find sufficiently diverse colleagues to bounce ideas off of; to help disconfirm our own beliefs about our idea; and to find colleagues who want to join us to drive the ideas forward.”
What iF? Day brings together interested colleagues from across the organisation every 2 months, where ideators pitch their ideas, which may not be fully formed, to other attendees who help to develop and enhance the ideas, as well as volunteer to form teams with the ideators to move the ideas forward.
What iF? Day provides CAG colleagues with a safe environment in which to present their ideas, build on them and collaborate with colleagues from different clusters who share a similar passion.
The Accelerator is a lean team. Other than Chan Meng, the Accelerator is a team of two, that also manages the Low Code CoE program.
“We are grateful to have CAG Management’s support – they help market our offerings by regularly encouraging their teams to tap on the Accelerator. We are also thankful for the collaborative innovation and digital ecosystem that many in CAG have helped to build, which makes the Accelerator’s work possible,” Chan Meng adds. “This ecosystem consists of the CoEs, the Innovation Team, the People Team, and the Corporate Communications team, all of whom contribute to fostering an innovative culture at CAG.”
Chan Meng agrees that digital transformation goes beyond adopting technology. It requires a customer-obsessed mindset from all parties involved and increasingly focuses on experimentation and progress, rather than perfection.
He acknowledges that in order to realise CAG’s aspiration to become Singapore’s most innovative enterprise, they must blend people and processes with technological advancements. This transformation will not only enable a seamless and exceptional customer experience at the airport but also enhance the capabilities of internal teams. Chan Meng is confident that they will succeed in accomplishing all of their objectives.
Untuk mendorong para karyawan untuk menelurkan ide-kreatif dan mengubahnya menjadi solusi digital, Changi Airport Group (CAG) menginisiasi program Accelerator. Program akselerator internal ini dilakukan untuk menjawab iklim bisnis yang cepat berubah. Untuk itu, dibutuhkan organisasi yang gesit, responsif, dan inovatif agar perusahaan bisa terus kompetitif.
Lewat program akselerator internal, bandara Changi bisa menemukan dan menerapkan ide-ide baru, mempercepat pertumbuhan, mendorong inovasi, dan menciptakan model bisnis baru. Inisiatif ini diluncurkan pada 2021 agar CAG bisa terus berinovasi meski di tengah pandemi. Program akselerator ini membebaskan karyawan untuk datang, mengutarakan ide mereka, dan melontarkan pertanyaan dengan rasa aman.
Akselerator internal CAG akan membantu karyawan untuk mendefinisikan ide bisnis yang diusulkan karyawan, mengurai hal-hal yang dibutuhkan untuk menjalankan ide itu, dan menetapkan tujuan. Tim di akselerator membantu tim internal untuk mengurangi friksi dan mempercepat perjalanan untuk menerapkan inovasi di perusahaan menjadi sebuah solusi nyata.
Karyawan juga dapat menggunakan CAG Accelerator sebagai konsultan internal mereka. Kantor ini bisa membantu mempertajam deskripsi masalah, memberikan rancangan solusi, dan menghubungkan mereka ke ahli internal dan eksternal yang tepat untuk mengeksekusi rencana itu.
Langkah praktis bangun akselerator
Bercita-cita menjadi perusahaan paling inovatif di Singapura, ide-ide kreatif mesti dikumpulkan sebanyak mungkin. CAG Accelerator dibuat agar 1900 karyawan CAG bisa menampung ide karyawan dengan mudah.
Sebelumnya, CAG sudah membentuk Center of Excellence (CoE) di 2021. Sejumlah CoE yang dibuat adalah DIVA untuk Eksperimen Digital, Ilmu Data (data science), Automasi Proses Robotika, Pengembangan Kode Rendah (low code development), dan AI. Sebagian CoE itu sudah lebih mapan dan telah membantu tim selama 2-3 tahun terakhir, sementara sebagian lagi baru lahir.
Namun, CAG sadar tak semua karyawan mereka memahami dan memanfaatkan CoE untuk mengembangkan inovasi di divisi mereka. Untuk itu, dibuatlah CAG Accelerator untuk menghubungkan staf yang memiliki ide atau masalah dengan divisi yang bisa menyelesaikan masalah itu.
“CAG Accelerator didirikan sebagai kantor konsultasi internal satu atap. Tim Accelerator akan menyampaikan ide dengan staf atau tim CAG, dan membantu mereka memberi solusi dan memilih CoE yang cocok untuk menyelesaikan masalah itu,” jelas Chong Chan Meng, Wakil Presiden, Transformasi dan Digitalisasi Proses Organisasi CAG dalam wawancara dengan OpenGov Asia.
Saat itu, untuk mengembangkan CAG Accelerator, Chan Meng dibantu oleh MD Team for People, Justina Tan, yang kini menjabat sebagai EVP untuk Perusahaan, Orang, dan Budaya, dan dukungan para pemimpin CAG. Peluncuran CAG Accelerator ini juga bekerja sama dengan CoE, Tim Inovasi CAG, dan Tim Pengembangan & Pengalaman CAG.
CAG menempatkan Analis Bisnis di Accelerator agar bisa memberikan analisis yang tajam atas masalah dan ide yang disampaikan oleh karyawan. Mereka bisa membantu mempertajam hipotesis dan pernyataan masalah, dan bisa memberikan bayangan bagaimana penerapan teknologi atas usulan yang diberikan.
Mereka yang ditempatkan di CAG juga mesti memiliki minat di bidang teknologi, memiliki rasa penasaran yang tinggi, menantang status quo, dan menunjukkan empati kepada karyawan. Sebab, bisa jadi karyawan tersebut tidak mengetahui solusi apa yang diperlukan dan mungkin tidak tahu cara menavigasi organisasi untuk mengakses sumber daya yang mereka butuhkan.
“Meskipun kami memiliki budaya yang sehat untuk kolaborasi lintas-cluster di CAG, mungkin beberapa karyawan tidak terbiasa untuk meminta bantuan di luar departemen atau divisi mereka. Jadi, mereka bisa mengontak Accelerator,” jelas Chan Meng.
CAG sengaja membangun budaya yang ramah dan saling membantu dalam Accelerator. Sebab, mereka sadar bahwa meminta bantuan atau mengusulkan ide baru adalah tindakan yang sangat riskan. Sebagian mungkin merasa tidak nyaman ketika meminta bantuan karena merasa sebagai bagian dari perusahaan semestinya kita mengetahui cara untuk memecahkan masalah. Sebagian lagi mungkin merasa khawatir dengan penilaian orang lain ketika mereka melontarkan ide.
“Di CAG dan khususnya Accelerator, kami mengembangkan budaya membuat agar meminta bantuan dan untuk mengajukan ide sebagai hal yang wajar. Bahkan, kami menerima ide yang masih prematur sekalipun.”
Tujuan kami adalah membuat siapapun yang berkonsultasi bisa keluar dengan solusi. Mereka bisa mengetahui langkah selanjutnya yang harus diambil dan bagaimana melakukan eksekusi ide tersebut. Jika ide inovasi mereka dirasa terlalu cepat dan tak sesuai dengan kondisi saat ini, maka Accelerator akan bekerjasama dengan tim Inovasi CAG untuk menghubungkan mereka dengan jejaring perusahaan rintisan (startup) dan lembaga penelitian CAG untuk mengeksplorasi solusi potensial.
Umumnya, karyawan CAG mendatangi Accelerator karena mereka cemas atau tidak yakin tentang ide yang mereka punya. Mereka kebingungan apakah ide tersebut memang bisa diterapkan atau apakah masalah mereka dapat diselesaikan. Setelah sesi konsultasi, sering kali mereka meninggalkan Accelerator dengan melihat kemungkinan dan mengetahui cara untuk mengambil langkah berikutnya.
Pada dasarnya, pekerjaan Accelerator adalah mengidentifikasi opsi solusi, merancang pendekatan solusi, dan menghubungkan pelanggan kami dengan sumber daya untuk mengimplementasikan solusi mereka. Meskipun Accelerator tidak mengimplementasikan solusi, mereka memeriksa tim secara berkala selama proses pengembangan. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah tim Accelerator dapat membantu menghilangkan hambatan dan memastikan bahwa mereka telah membuat kemajuan.
“Setelah solusi diterapkan, kami akan menghubungi tim 3-6 bulan kemudian untuk menilai dampak aktual yang diberikan solusi tersebut bagi pelanggan mereka dan CAG,” terang Chan Meng.
Untuk mengukur inisiatif yang dijalankan CAG Accelerator, mereka melakukan survei untuk mengetahui seberapa kenal para karyawan CAG dengan program Accelerator. Hasilnya, berdasarkan data survei tahunan pada Januari 2023, sebanyak 84% karyawan mengetahui Accelerator. Program ini pun sudah menyelesaikan 71 kasus konsultasi dalam 12 bulan terakhir.
Indikator pengukuran lain untuk menilai hasil kerja CAG Accelerator adalah lewat penambahan pendapatan yang dihasilkan, biaya yang berhasil dikurangi atau mencegah pembengkakan biaya, serta peningkatan produktivitas dari ide atau solusi yang diterapkan. Tim juga melakukan pengukuran dampak kualitatif seperti UX yang lebih baik, peningkatan akurasi, dan menjaga kepatuhan. Hasil kolaborasi dan konsultasi dengan berbagai tim di CAG berhasil membuahkan skor kepuasan di atas 70.
Chan Meng percaya soal pentingnya mengukur kesuksesan sebagai umpan balik untuk menilai kinerja Accelerator. Umpan balik ini memberikan tim keyakinan bahwa Accelerator telah berhasil menjadi pendorong inovasi di CAG. Umpan balik juga digunakan untuk mengevaluasi apa yang perlu diubah atau ditingkatkan untuk memperbaiki layanan bagi tim CAG.
Tantangan dan pengelolaan tim
CAG Accelerator terdiri dari tim yang ramping yang terdiri dari seorang kepala, dua pengelola program Low Code CoE, satu dari tim HR dan Komunikasi Korporat. Chan mengakui selama ini salah satu tantangan yang mereka hadapi adalah membantu lebih banyak karyawan CAG melakukan inovasi. Untuk itu, mereka mencoba melakukan sosialisasi dengan seluruh karyawan dengan melakukan broadcast email dan melakukan kunjungan ke berbagai divisi. Kunjungan dilakukan untuk melihat ide dan masalah yang dihadapi oleh tiap divisi.
Salah satu solusi yang kerap ditawarkan dalam sesi konsultasi itu adalah memanfaatkan operasi Kode Rendah (Low Code) untuk merancang dan menerapkan solusi bagi berbagai tim. Namun, dalam perkembangannya, mereka juga terbuka untuk menyelesaikan ide dan masalah lain di sesi konsultasi dengan Accelerator.
Selain itu, CAG Accelerator baru-baru ini meluncurkan program ‘What If?’ untuk mendukung dorongan inovasi di perusahaan. Program ini dibuat lantaran mereka kesulitan menemukan kolega yang cukup beragam di CAG untuk bertukar ide inovasi dan mendorong gagasan baru ke depan.
Lewat program ‘What If? Day’ mereka mengumpulkan kolega yang tertarik berinovasi dari seluruh lini organisasi setiap bulan. Di acara ini, para ideator bisa menyampaikan ide mereka. Para peserta lain akan membantu membangun dan memperkaya ide-ide tersebut dan mencari solusi bersama. Platform ini dibuat agar semua peserta bisa merasa aman bereksplorasi dan berkolaborasi dengan rekan-rekan yang memiliki minat yang sama.
Ke depan, Chan Meng berharap tim yang menjalankan Accelerator bisa berbagi peran dengan CoE, sehingga Accelerator tidak sekadar menjadi penghubung semata. Tapi, organisasi ini sekaligus bisa menerapkan dan memberikan solusi bagi para karyawan yang meminta jasa konsultasi.
Dengan memiliki kemampuan untuk memberikan solusi konkret seperti yang dilakukan CoE bagi pengguna Accelerator, Chan Meng berpendapat hal ini bisa membantu anggota tim membangun kredibilitas untuk anggota tim dan Accelerator itu sendiri. Chan Meng menyarankan bagi perusahaan yang ingin menyiapkan program konsultasi serupa CAG Accelerator untuk melengkapinya dengan kemampuan eksekusi program sekaligus.
Artificial intelligence (AI) has the potential to transform the screening of dementia, a disease that affects millions of people worldwide. A project based in Singapore, Project Pensieve is developing a digital screening tool that utilises AI to analyse drawings to detect early signs of dementia in users.
In collaboration with the Department of Psychiatry at Singapore General Hospital, GovTech has developed a tool that incorporates machine learning technology and local clinical expertise to accurately estimate the risk of dementia in just 10 minutes. This initiative is part of GovTech’s ongoing effort to use AI to detect dementia earlier, improve healthcare and enable seniors to live active, fulfilled lives.
The research and development phase of Project Pensieve will continue through 2023. By utilising AI, the tool is expected to facilitate more efficient and effective early screening for dementia within the community.
According to Associate Professor Liew Tau Ming, Principal Investigator of Project Pensieve and a senior consultant psychiatrist at Singapore General Hospital, “The timely detection of dementia enables those with the condition to access medications that can slow down the progression of the disease and interventions that help manage related behavioural symptoms. Additionally, caregivers will also have access to important community resources for dementia care.”
The OpenGov Asia Recognition of Excellence Award recognises Project Pensieve for its significant contribution to the AI and dementia screening field.
Utilising AI for early detection of dementia
“Singapore is experiencing its silver wave now,” says Tan Congyuan, Product Manager, Data Science and Artificial Intelligence Division, Government Technology Agency (GovTech), Singapore. “Today, one in seven Singaporeans are seniors. By 2030, we expect one in four Singaporeans aged 65 and above. That’s a projection of more than 900,000 seniors.”
Presently, one out of every ten senior citizens in Singapore has dementia. By 2030, it is anticipated that Singapore will have 152,000 individuals suffering from dementia. Unfortunately, up to 70% of dementia patients in Singapore remain undiagnosed until they have reached a later stage of the disease.
Despite the glaring gap in dementia diagnosis, there has been no efficient and scalable solution to address it at the population level. However, Singapore General Hospital and GovTech saw the potential of AI in developing a solution as the technology matured. Thus, they embarked on this journey in 2020, leveraging each other’s expertise and strengths in dementia care and machine learning (ML).
According to Congyuan, while several cognitive tests such as Min-Cog and Mini-Mental State Examination can assist in the early diagnosis of dementia, they have deployment limitations since each test requires 20 to 30 minutes to administer.
They are labour-intensive and frequently necessitate specialised training before they can be used by a healthcare professional. Moreover, some of these tests are dependent on the respondent’s literacy skills.
Drawing tests, on the other hand, do not rely on the respondent’s literacy level, making them more inclusive and accessible to a wider population. The test is self-administered via an app on a tablet using prerecorded audio and video prompts. It typically takes between five and ten minutes to complete and the AI instantly and automatically scores the test results.
One of the obstacles to early diagnosis of dementia is the current healthcare system, in which the resources required to diagnose dementia, especially the availability of trained professionals to administer cognitive tests, are concentrated at specialised memory clinics in tertiary hospitals. However, many community-based seniors rarely visit tertiary hospitals, limiting their access to professional cognitive evaluations.
Project Pensieve’s objective is to enable non-experts, such as volunteers, caregivers, or administrative staff from the community, to administer the exam, broadening the reach and scope of dementia screening.
The journey towards a minimum viable product
Choosing and adapting the AI algorithm to enhance the accuracy and robustness of identifying dementia cases was a critical technical consideration. Consequently, the Project Pensieve team tested the concept against a small set of synthetic data using few-shot learning techniques, which gave them the confidence to develop a minimum viable product (MVP).
The minimum viable product (MVP) gathered a dataset of 1,000 senior participants’ drawing strokes to enhance the AI model’s accuracy using actual data. Initial results showed promising inference accuracy rates of over 80%. As the project is ongoing, the precision of the AI model will improve as more data is collected.
Using a digital tablet, a participant is required to complete four drawing tests on the app which record the sequence of strokes made by the participant. The AI model then evaluates the stroke sequences and drawings to estimate the risk of dementia.
The project’s AI engineers Jessica Foo and Howard Yang employed multiple AI techniques for this project, including meta-learning, which helped them overcome the lack of data in the project’s early stages. This technique teaches a model to “learn to learn”, allowing for the rapid generalisation of new information.
To better capture temporal information, the engineers explained that they used long short-term memory (LSTM) and gated recurrent units (GRUs) to process images as stroke sequences. By analysing stroke sequences rather than the conventional pen-and-paper drawing, the AI can detect anomalous drawing sequences or prolonged hesitation when drawing, which may indicate cognitive difficulties.
More than 600 seniors participated in the project’s pilot and underwent memory assessments conducted by dementia specialists. Several individuals with dementia and mild cognitive impairment, which are early indicators of dementia, were picked up by the pilot.
“By recruiting community-dwelling seniors as volunteer participants, Project Pensieve was able to identify positive markers of dementia in individuals who might have gone undiagnosed otherwise,” Congyuan says excitedly. “These individuals were then referred to the memory clinic for follow-ups and further evaluation.”
Designing Project Pensieve with the user in mind
Designing for user-friendliness was one of the considerations, particularly for elderly users who are not digital natives and have little experience with interactive screens. Users needed to become familiar with the app so that the inputs collected were accurate and not influenced by the friction of drawing in a new medium.
The team conducted user experience research with clinicians and patients in the early stages of development, using tools such as affinity diagrams, user personas and emotional journey mapping to extract insights and themes to guide the app’s development.
Rachel Shong, Pensieve’s UX designer, engaged seniors at void decks and Residents’ Committees (RCs) to demonstrate mock-ups and gather feedback. The team had to design the user experience from the perspective of seniors with varying cognitive abilities, keeping in mind that they may have little experience with tablets and interactive screens.
The team was mindful throughout the process that inclusive design stems from empathy and that the human element must not be overlooked in the design process.
Rachel revealed that when designing the test setup, they considered a range of factors: “For example, selecting a stylus that resembles the classic hexagonal 2B pencil without any side buttons to recreate a familiar feel and reduce apprehension arising from tech novelty.”
The team intentionally chose a tablet that was appropriately sized and not too heavy for the participants to handle. They also paid attention to the user interface, including the visual contrast of the app and the size and style of the fonts, to ensure readability for seniors.
Project Pensieve maintains a human-centred approach by inviting citizen co-creation and participation. The team engaged the public through various events and platforms during the product development phase, such as GovTech’s Tech Kaki group and IMDA’s Digital for Life event.
Supporting existing dementia initiatives with Project Pensieve
Project Pensieve serves as a significant addition to the current dementia support initiatives, as the detection and intervention process is complex and various factors can affect the outcome. For example, even if a person is identified as being at risk for dementia, they may choose not to pursue follow-up due to stigma, anxiety, financial constraints, lack of knowledge, family circumstances, or other reasons.
“The healthcare system also needs to be robust enough to support the additional load of picking up more people with early dementia,” Congyuan opines.
It is important to note that AI should only be used as an aid in the diagnosis of dementia, and not as a replacement for a professional diagnosis. Therefore, it is recommended that individuals identified as potentially having dementia through AI testing be referred to a trained clinician for a more comprehensive diagnosis and appropriate intervention.
Adjustments will be made to the sensitivity and specificity of the AI as more data comes in. Sensitivity represents the true positive rate, and specificity represents the true negative rate. A test with high sensitivity will reliably detect the presence of a condition, resulting in a high number of true positives and a low number of false negatives. This is especially crucial when the repercussions of missing the condition are severe. A test with a high specificity reliably excludes individuals who do not have the condition, resulting in many true negatives and a small number of false positives. This is especially crucial when people with a condition are subjected to additional testing, expense, stigma, and anxiety, among other things.
AI can and is already being used for a variety of tasks such as interpreting imaging results, ensuring medication adherence, and detecting abnormal behaviour that could be a symptom of a problem, such as a fall detection device.
The team is actively investigating the optimal application of AI to healthcare needs.
About the team
The Project Pensieve team is committed to achieving its goal of providing public benefit through its collaborative work. Clinical experts from Singapore General Hospital develop the drawing tests and administer and interpret them to provide ground truth data to train the AI.
GovTech has software developers building the app, AI and data engineers who build the AI engine to improve the accuracy and robustness of detecting dementia and user experience designers who conceptualise features and the user journey to deliver a good experience.
The team demonstrates empathy towards the user’s experience, strives for continuous innovation and delivers a superior product by putting themselves in the shoes of all stakeholders.
Interacting with seniors whose cognitive abilities span a broad spectrum is a good example of empathy. The team must demonstrate sensitivity and patience when approaching, understanding and communicating with the elderly.
The project team must be able to communicate its business case and the potential value of the project to stakeholders to gain their support. Stakeholders can evaluate the cost-benefit ratio and determine the level of support for the project if they are informed of progress, obstacles and successes.
“For example, challenges arising from the COVID situation led to a slower outreach and uptake of recruitment at the start, necessitating some schedule adjustments,” Congyuan explains. “Being transparent in the recovery action and demonstrating successful delivery of intermediate milestones gave the stakeholders confidence in their support to overcome the hurdles.”
The Project Pensieve team includes subject matter experts from various fields, including clinical, user experience, and artificial intelligence. Open communication within the team is vital as it ensures that everyone’s domain expertise is shared and not withheld and members know whom to approach when confronted with a complex problem.
For instance, the AI engineer must comprehend how clinicians interpret features within a drawing to optimise the AI’s ability to zero in on areas of interest.
Congyuan shared that the team uses Kanban to track work transparently and keep each other informed of upcoming tasks or backlogs. This allows the team to pursue incremental, evolutionary improvements throughout the phases of the project, as app development progresses concurrently with participant usage.
“Team members are empowered to be leaders and initiate enhancements to the solution and workflow while managing team capacity,” Congyuan concludes.
Congyuan is optimistic about the future of AI technology in healthcare and is excited to see what it can develop to better serve people. Thanks to the dedicated efforts of his team who share similar values, he believes that this industry will continue to thrive and grow in the years ahead.
Untuk meningkatkan efisiensi dan memberikan perawatan berkualitas, layanan perawatan kesehatan saat ini telah mengintegrasikan teknologi dengan berbagai cara. Salah satu teknologi yang paling menjanjikan adalah kecerdasan buatan (AI) yang berpotensi membantu dalam mendiagnosis demensia.
Demensia dialami oleh jutaan orang di seluruh dunia. Saat ini, 10 persen populasi lanjut usia (lansia) di Singapura menderita demensia. Namun, mengingat diagnosis dini demensia penuh dengan hambatan, 70 persen penderita demensia di Singapura tidak terdiagnosis hingga mereka mencapai stadium yang lebih lanjut.
Untuk itu, Government Technology Agency (GovTech) Singapura sedang mengembangkan dan menguji coba alat skrining digital, Project Pensieve. Alat uji ini memanfaatkan gambar untuk mengidentifikasi tanda-tanda demensia pada pengguna. Itu dapat memperkirakan risiko demensia menggunakan AI hanya dalam 10 menit.
Proyek ini merupakan kolaborasi antara Departemen Psikiatri Rumah Sakit Umum Singapura dan Divisi Sains Data dan Kecerdasan Buatan (DSAID) GovTech. Tim bisa menghitung potensi demensia dengan menilai gambar digital. Perhitungan yang dilakukan mengacu pada keahlian klinis lokal dan teknologi pembelajaran mesin (machine learning) yang secara otomatis dapat memperkirakan risiko demensia. Alat ini memberikan cara yang lebih efisien untuk deteksi dini demensia dengan memeriksa bagaimana warga lanjut usia menggambar bentuk dan simbol tertentu.
Setelah mendapat diagnosis Project Pensieve, lansia akan dirujuk ke klinik memori untuk tindak lanjut. Deteksi dini membuat manula bisa segera mendapat pengobatan untuk memperlambat perkembangan penyakit dan membantu mengelola gejala perilaku lainnya. Para lansia juga bisa dibantu untuk mengubah gaya hidup dan mendapatkan akses ke sumber informasi komunitas terkait perawatan demensia.
Saat ini, Project Pensieve masih dalam tahap pengembangan penelitian, yang akan berlanjut hingga tahun 2023. Rencananya, layanan ini akan dipakai secara nasional pada 2024. Upaya ini merupakan bagian dari upaya berkelanjutan GovTech untuk memanfaatkan kecerdasan buatan guna mendeteksi demensia pada tahap awal. GovTech telah dianugerahi OpenGov Asia dalam penghargaan Recognition of Excellence atas pencapaian tersebut.
AI buat deteksi dini demensia
Saat ini, jumlah penduduk senior di Singapura tengah bertumbuh dengan satu dari tujuh warga Singapura adalah manula. Dalam wawancara dengan OpenGov Asia, Tan Congyuan, Product Manager, Divisi Data Science dan Kecerdasan Buatan, GovTech menjelaskan saat ini satu dari 10 lansia di Singapura menderita demensia. Pada 2030, angka ini diduga bakal melonjak dengan satu dari empat warga Singapura akan berusia 65 tahun ke atas. Saat itu, dari total 900 ribu warga lansia, sebanyak 152 ribu lansia Singapura diduga akan mengalami demensia.
Mirisnya, tujuh puluh persen orang dengan demensia di Singapura tidak terdiagnosis sampai mereka mencapai stadium lanjut. Namun hingga saat ini, belum ada solusi mudah yang terukur untuk mengembangkan solusi deteksi dini.
Hambatan lain untuk diagnosis dini demensia adalah keterbatasan ketersediaan tenaga ahli. Tenaga profesional terlatih untuk melakukan tes kognitif saat ini hanya terkonsentrasi di klinik memori khusus di rumah sakit tersier. Padahal, kebanyakan lansia jarang mengunjungi rumah sakit tersier. Hal ini membuat para lansia memiliki akses terbatas dari evaluasi profesional atas gangguan fungsi kognitif mereka.
Masalah lain adalah soal kesulitan menerapkan tes kognisi dini demensia dengan metode yang ada saat ini, misal Min-Cog dan Mini-Mental State Examination. Tes ini membutuhkan tenaga professional dengan pelatihan khusus dan tiap tes butuh 20 hingga 30 menit untuk diselesaikan. Beberapa dari tes ini juga bergantung pada kemampuan literasi responden.
Untuk itu, GovTech dan Rumah Sakit Umum Singapura berinisiatif untuk membuat pendeteksi dini demensia menggunakan AI dengan Project Pensieve pada 2020. AI digunakan agar tes bisa dilakukan dengan cepat dan tidak membutuhkan pelatihan dan bantuan tenaga ahli untuk menyelesaikan tes.
Lewat Project Pensieve, peserta akan menjalani empat tes menggambar di aplikasi. Model AI kemudian akan menilai urutan dan kekuatan garis gambar serta memprediksi apakah peserta menderita demensia atau tidak. Tes menggambar yang harus dimasukkan dalam pengujian tidak bergantung pada tingkat literasi, tingkat pendidikan, serta pengetahuan responden.
Tes gambar ini bisa dilakukan secara mandiri oleh manula dengan asistensi orang awam, baik sukarelawan, pengasuh, atau staf administrasi komunitas. Mereka bisa melakukan tes lewat aplikasi di tablet dengan mendengarkan petunjuk lewat rekaman video dan audio. Para manula rata-rata perlu lima hingga sepuluh menit untuk menyelesaikan soal. Hasil tes kemudian secara otomatis akan langsung dinilai menggunakan AI.
Dengan menganalisis urutan goresan alih-alih gambar pena dan kertas konvensional, AI dapat menilai beberapa hal. Misal, urutan gambar yang tidak normal atau keragu-raguan yang berkepanjangan saat menggambar. Sebab, keduanya bisa menjadi indikasi kesulitan kognitif.
Proyek ini telah diuji kepada 500 manula. Para peserta mendapat pemeriksaan memori yang dilakukan oleh psikiater profesional. Tim lantas mengambil sampel dari beberapa orang dengan demensia serta gangguan kognitif ringan yang merupakan tanda awal demensia.
“Kami merujuk mereka ke klinik memori untuk tindak lanjut. Karena proyek mencari lansia yang tinggal di komunitas sebagai peserta sukarela, mereka mungkin tidak terdiagnosis jika tidak direkrut untuk proyek tersebut,” jelas Congyuan.
Pengembangan tes demensia pakai AI
Menurut Congyuan, faktor teknis yang penting ketika mengembangkan Project Pensieve adalah soal pemilihan dan adaptasi algoritme AI. Seleksi ini penting karena akan menentukan tingkat akurasi dan ketahanan sistem ketika melakukan tes kasus demensia.
Tim awalnya menguji konsep tersebut terhadap kumpulan data kecil dari data sintetik menggunakan teknik few-shot learning. Teknik ini memberi tim keyakinan untuk membangun produk layak minimum (minimum viable product/MVP). MVP mengumpulkan kumpulan data stroke gambar dari 1.000 peserta senior untuk meningkatkan model AI menggunakan data aktual. Temuan awal menunjukkan akurasi inferensi yang menggembirakan, yaitu di atas 80 persen. Karena proyek ini masih dalam pengembangan, akurasi model AI akan makin baik seiring dengan makin banyak data yang dikumpulkan.
Selain itu, dalam pengembangan aplikasi, tim menggunakan beberapa teknik AI. Pada tahap awal, mereka menggunakan meta-learning untuk mengatasi keterbatasan data. Meta-learning membantu model AI untuk ‘mempelajari cara belajar’. Sehingga, model ini bisa lebih cepat memproses informasi. Tim juga menggunakan long short-term memory (LSTM) dan gated recurrent units (GRU) untuk memproses gambar sebagai urutan stroke agar bisa lebih baik menangkap informasi temporal.
Ketika merancang desain aplikasi, tim mempertimbangkan tampilan yang mudah dipahami pengguna yang sudah lanjut usia. Tim mesti memahami bahwa mereka memiliki keterbatasan literasi digital dan tak fasih menggunakan layar interaktif. Hal ini patut dipertimbangkan agar pengguna merasa tes bisa dilakukan dengan mudah dan membuat tim mendapat masukan data gambar yang lebih akurat.
Di tahap awal pengembangan, pengalaman pengguna diteliti lewat wawancara dengan dokter dan pasien. Mereka lantas menggunakan perangkat seperti diagram afinitas, persona pengguna, dan pemetaan perjalanan emosional untuk mengekstrak wawasan dan tema untuk memandu pengembangan aplikasi.
Para perancang tim user experience (UX) melibatkan lansia yang ada di komite warga untuk menunjukkan contoh akhir aplikasi dan meminta umpan balik. Hal ini diperlukan agar mereka bisa mengetahui bagaimana persepsi para warga senior ketika memakai aplikasi. Mereka juga menyesuaikan antarmuka pengguna seperti kontras visual aplikasi, ukuran huruf dan tata letak agar mudah dibaca.
Selain perancangan tampilan aplikasi, tim juga mempertimbangkan kenyamanan para lansia ketika melakukan proses pengujian. Misal, dengan memilih stylus yang menyerupai pensil heksagonal 2B klasik tanpa tombol samping. Sehingga, para senior tidak merasa asing dan mengurangi kekhawatiran ketika harus menggunakan teknologi baru. Tim juga sengaja memilih tablet yang tidak terlalu besar dan berat.
Untuk pertimbangan etis atau batasan saat menggunakan AI untuk mendiagnosis demensia, Congyuan mengingatkan bahwa AI mesti diposisikan sebagai asisten dan bukan untuk menggantikan diagnosis profesional. Kasus potensial harus diikuti dengan kunjungan dengan dokter terlatih sebagai langkah selanjutnya untuk diagnosis dan intervensi yang lebih mendalam.
Tim Govtech telah mengidentifikasi sejumlah hambatan lain terkait pengobatan demensia. Misal, orang yang teridentifikasi berisiko demensia mungkin tidak ingin melanjutkan pengobatan. Keengganan ini bisa jadi dilatari karena stigma, kekhawatiran, keadaan keuangan, kurangnya informasi, situasi di rumah, dll. Selain itu, sistem perawatan kesehatan juga harus cukup kuat untuk menangani beban tambahan ketika lebih banyak orang melakukan rehabilitasi demensia dini.
Lebih lanjut, tim terus mengeksplorasi cara untuk memanfaatkan AI bagi kebutuhan perawatan kesehatan lain. Contohnya untuk membantu menginterpretasikan hasil pencitraan, memastikan kepatuhan pengobatan, dan memantau perilaku abnormal yang mungkin menjadi gejala suatu masalah– seperti perangkat pendeteksi jatuh.
Membangun tim tangguh
Tim yang direkrut untuk proyek AI di bidang kesehatan, seperti Project Pensieve, terdiri dari tim teknis GovTech dan pakar klinis dari Rumah Sakit Umum Singapura. Keahlian keduanya diperlukan untuk mengembangkan tes gambar dan mengelola serta menginterpretasikannya untuk menyediakan data dasar yang akurat untuk melatih AI.
GovTech mengembangkan aplikasi ini dengan gabungan para pengembang perangkat lunak untuk membangun aplikasi. Kemudian digabung juga dengan data science dan AI untuk membangun mesin AI yang akan membaca pendeteksian demensia. Terakhir, perancang UX dilibatkan untuk membuat konsep fitur dan perjalanan pengguna untuk menghadirkan pengalaman yang baik. Untuk membangun kolabrasi dengan tim yang berbeda latar, tim mengembangkan komunikasi terbuka.
“Ini berarti pengetahuan dari tiap orang mesti dibagikan dan tidak ditahan, sehingga anggota tahu siapa yang harus didekati ketika mereka menghadapi masalah multifaset. Misalnya, insinyur AI perlu memahami bagaimana dokter menginterpretasikan fitur dalam gambar untuk membantu menyetel pembelajaran AI,” jelas Congyuan.
Selain keahlian teknis, ia pun mengajak semua anggota tim untuk memfokuskan pekerjaan yang mereka lakukan dengan tujuan untuk memberi manfaat bagi publik. Anggota tim diajak untuk memposisikan diri di semua pemangku kepentingan, berempati dengan pengalaman pengguna, dan bekerja ekstra untuk memberikan produk yang terbaik.
Menurut Congyuan, untuk menjamin kesuksesan proyek, tim harus bisa mengomunikasikan kasus bisnis dan potensi nilai agar proyek bisa diterima oleh pemangku kepentingan. Komunikasi yang jelas tentang kemajuan, rintangan, dan kesuksesan proyek bisa membuat pemangku kepentingan menghargai biaya-manfaat dan menilai tingkat dukungan yang bisa mereka berikan terhadap proyek.
Untuk melacak pekerjaan di seluruh tim secara terbuka dan saling mengetahui pekerjaan selanjutnya, tim sangat terbantu dengan teknik Kanban. Teknik ini membantu tim melakukan pengembangan secara paralel dengan tes penggunaan aplikasi, sehingga tim bisa lebih cepat melakukan perbaikan. Anggota tim juga dipercaya menjadi pemimpin dan memulai penyempurnaan solusi dan alur kerja sembari mengelola tim.
OpenGov Asia acknowledges GovTech’s innovative and transformative utilisation of technology in the public sector. This encompasses streamlining government processes, prioritising citizens’ needs and pioneering the GoBusiness platform, which serves as the primary channel for businesses in Singapore to access government e-services and resources.
The platform is developed in collaboration with The Smart Nation and Digital Government Office (SNDGO), the Ministry of Trade and Industry (MTI), and in consultation with over 500 business users spanning diverse industries to ensure that the functionalities and enhancements address real business challenges.
A Smart Nation Initiative and a Strategic National Project, GoBusiness, which provides businesses in Singapore with integrated, personalised and seamless access to business resources and services from the Singapore Government, exemplifies the Government’s commitment to simplify business interactions and foster a more conducive business environment in Singapore.
The platform provides businesses with a single, reliable and unified interface with the government throughout their journey, from inception to expansion. Businesses can make use of GoBusiness to access over 300 government e-services, obtain the latest information on business regulations and receive guidance on navigating regulatory processes.
Enhancing business regulatory processes
Simon Ang, Deputy Director of Product Management (GoBusiness) at GovTech in Singapore, speaks on how the development of GoBusiness was geared towards helping businesses in Singapore navigate regulatory processes.
“The initiative began with a pilot programme working with the Food & Beverage (F&B) industry, a tightly regulated sector where business owners are required to apply for multiple licences and permits from various government agencies,” Simon recalls. “Many businesses were not familiar with these regulatory requirements, and the process of obtaining the relevant permits and licences.”
To simplify licence applications for F&B businesses, GoBusiness Licensing was introduced in 2019. Following its initial success, the platform was quickly expanded to accommodate more industries and business requirements.
Today, GoBusiness supports businesses in Singapore in every stage of their business journey by offering a seamless and enterprise-centric experience in accessing government resources and digital services.
Overcoming key challenges
The success of the platform today came with its fair share of challenges. Consolidating and linking services from different government agencies was a key challenge, shares Simon. This required integration of numerous systems with different data definitions and API specifications. The team put in significant efforts to devise solutions, reengineer processes, and persuade internal stakeholders that the investment would be worthwhile.
“Another key challenge was prioritisation. With finite resources, the team needed to identify the key problems to tackle and assess the level of impact the solution will bring to the business community,” Simon elaborates. “COVID, for example, forced the team to rethink the product strategy and pivot from the original product roadmap to create services that meet businesses’ immediate needs.”
Offering businesses a reliable and secure digital tool
On average, GoBusiness records a daily average of 20,000 page views, and 300-400 transactions which typically include annual or one-time processes such as business registration, licence applications and renewals. These figures are expected to increase as the platform continues to expand its suite of services.
To support the platform’s long-term growth, the GoBusiness infrastructure was built with the ability to scale up or down based on the load, and it has proven to be capable of handling massive traffic spikes following announcements about business-related schemes or initiatives, such as COVID-related announcements, Budget 2023 and the launch of new business grants.
GoBusiness also uses the Green/Blue deployment strategy to minimise downtime and the risk of failure during deployment. Before any major release, the team performs load testing, source code reviews and security testing to ensure that the portal’s performance is not jeopardised. These are in accordance with the Singapore Government’s regulations.
“GoBusiness adheres strictly to the security standards put in place for all government systems. We also leverage SG Tech Stack to integrate with products like Myinfo for user data,” Simon confirms. “Information is collected and transmitted to other government agencies via encrypted and secure channels. To access their business information, transactions, and records, users are required to log in to GoBusiness with their Singpass.”
Supporting Singapore’s pro-enterprise environment
GoBusiness reduces the initial hurdle for aspiring entrepreneurs by offering them a single touchpoint to obtain reliable and up-to-date information on their intended business activity. By consolidating the relevant content and services of over thirty government agencies, it reduces the time and effort for businesses in researching multiple websites or sources.
The step-by-step guides and e-Advisers on the platform are self-service tools that businesses can use to obtain personalised guidance on navigating regulations and applying for government schemes and licences that are relevant to their business needs.
All in all, businesses in Singapore can easily navigate the process of starting, running and growing their businesses with the help of GoBusiness.
Simon shared that GoBusiness has been engaging business owners and administrative staff through user interviews and testing to optimise the portal’s design and development, and will continue to do so. “To date, we have connected with more than 500 businesses from a range of industries. We are continuing to conduct these sessions with businesses as GoBusiness is committed to evolving and expanding its suite of services.”
Moving forward, the GoBusiness team plans to take a more proactive approach to deliver relevant Government services and information to businesses in a timely fashion. This will involve developing capabilities for GoBusiness to push personalised recommendations to the businesses based on their business maturity and activities.
Additionally, three local small and medium-sized businesses (SMEs) shared their experience on how GoBusiness has supported them in different stages of their business journey, including starting up, running and growing their enterprises.
Joel Lim, the Managing Director of ZYRUP Media, a digital media and creative house, felt that the GoBusiness website has a modern and clean interface with a minimalist design, and the information provided on the platform was useful for his business.
“We initially had a vague notion of how to start a business, but thanks to the clear steps outlined by GoBusiness, we were able to confidently register our company.”
Jeannie Ong, Founder of Envy Her Pte Ltd, the first lingerie manufacturer in Singapore shared that GoBusiness offers much more than just manpower and declaration-related matters.
“Instead of visiting several websites, I can seamlessly obtain most of the information from the website alone.”
Shawn Ow, Managing Director of Genesis One Tech Farm, a high-tech vertical indoor farm used the GoBusiness website manpower services, to gather information about taxes and GST and to review the various grants that were available for his company.
“The website is clean and easy to navigate. The information is detailed and laid out in an organised manner and the links to various government agencies are also easily accessible.”
About the team
Simon believes that having a shared vision and setting common goals are essential for the success of a platform like GoBusiness, which has the potential to go in many different directions. Prioritisation based on data and emerging needs is also necessary to keep the team on track.
The team, which includes representatives from SNDGO, MTI, and GovTech, holds weekly meetings to discuss issues and plans. There has been an open culture since the project’s inception, and over the last six years, a strong working relationship has been established.
The team’s ability to reach a consensus and resolve disagreements is attributed to their shared vision of providing better Government-to-Business services. Additionally, their execution is marked by agility and boldness, with a willingness to experiment with ideas.
“GoBusiness has a strongly coherent theme that runs through the product, and this is the outcome of effective team collaboration. The platform offers a coherent experience, and our best measurement is the level of satisfaction users have with the product,” Simon concludes.
Untuk meningkatkan kemudahan menjalankan bisnis di Singapura, GovTech menggelontorkan situs GoBusiness. Situs layanan bisnis satu atap ini memberikan kemudahan pemilik bisnis untuk mengakses berbagai layanan elektronik dan informasi dari pemerintah Singapura. Platform ini berfungsi sebagai satu titik kontak Pemerintah yang dapat diandalkan untuk perusahaan di setiap tahap perjalanan mereka, mulai dari startup hingga perusahaan besar.
Portal GoBusiness dapat mengakses lebih dari 300 layanan elektronik pemerintah, mendapatkan informasi peraturan bisnis terbaru, dan mendapatkan saran bisnis yang relevan. Platform ini juga dibangun dengan lebih dari 500 pengguna korporat dari berbagai industri untuk menjamin bahwa fitur dan saran yang diberikan benar-benar memberi solusi.
GoBusiness dikembangkan atas kolaborasi Smart Nation and Digital Government Office (SNDGO), Kementerian Perdagangan dan Industri (MTI), dan Government Technology Agency (GovTech) Singapura. Tujuan dibuat situs ini adalah untuk mewujudkan niat pemerintah dalam memudahkan interaksi dengan bisnis serta membangun iklim yang lebih pro-bisnis di Singapura.
Smart Nation Initiative Singapura telah memasukkan situs GoBusiness sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional. Layanan ini mewakili upaya pemerintah untuk memberikan layanan yang sederhana, lancar, dan relevan untuk perkembangan bisnis dan menciptakan iklim yang lebih mendukung para pengusaha.
Mudahkan relasi perusahaan dan pemerintah
GoBusiness dikembangkan dengan tujuan untuk membantu bisnis di Singapura manjajaki berbagai proses, regulasi, dan informasi relevan yang diberlakukan pemerintah. Dalam wawancara dengan OpenGov Asia, Simon Ang, Wakil Direktur, Product Management (GoBusiness), GovTech membeberkan ihwal pengembangan GoBusiness.
Menurutnya, pengembangan GoBusiness dimulai dengan proyek percontohan di industri makanan dan minuman (mamin). Sektor ini memiliki regulasi ketat dan mengharuskan pemilik bisnis untuk mengajukan sejumlah izin dan lisensi dari berbagai lembaga Pemerintah.
Namun, banyak bisnis kesulitan mengetahui persyaratan peraturan tersebut serta kebingungan dengan proses memperoleh izin dan lisensi. Untuk itu, pemerintah Singapura membuat GoBusiness pada 2019, untuk menyederhanakan aplikasi lisensi untuk bisnis mamin.
Ternyata platform ini sukses membantu para pengusaha mamin. Melanjutkan kesuksesan itu, pemerintah pun memperluas penggunaan platform GoBusiness untuk sektor industri dan bisnis lain. Hingga saat ini, GoBusiness telah dilengkapi dengan berbagai fitur untuk mengawal perjalanan bisnis kecil, menengah, sampai menjadi perusahaan besar di berbagai industri.
Kesuksesan GoBusiness membantu meningkatkan reputasi Singapura sebagai negara tujuan untuk membangun bisnis. GoBusiness menjadi solusi yang ramah pengguna, aman, dan nyaman ketika pengusaha mesti berurusan dengan pemerintah.
Lewat situs ini, pengusaha bisa mendapat semua informasi yang dibutuhkan dari 30 lembaga pemerintah hanya lewat satu pintu. Cara ini membantu perusahaan untuk menghemat waktu, sebab mereka tak perlu meneliti berbagai situs web pemerintah. Akses elektronik juga mengurangi interaksi dan menghindari gesekan dengan pegawai sipil.
Panduan di situs ini bisa dipersonalisasi. Pelaku bisnis bisa mendapat rekomendasi, panduan langkah demi langkah dan penasihat elektronik yang sesuai dengan kebutuhan bisnis mereka. Rekomendasi mengenai peraturan, skema, dan lisensi yang relevan pun diberikan. Penasihat elektronik bisa memberi saran bagi bisnis di Singapura untuk memulai, menjalankan, dan mengembangkan bisnis mereka, dengan memanfaatkan lebih dari 300 layanan digital pemerintah yang tersedia di GoBusiness.
Cara GovTech Kembangkan GoBusiness
Hingga saat ini, GoBusiness rata-rata menampung 20.000 tampilan halaman harian dan sekitar 300-400 transaksi. Transaksi yang dilakukan di situs ini meliputi pendaftaran usaha, permohonan izin dan perpanjangan yang biasanya dilakukan setiap tahun atau satu kali. Simon berharap penambahan berbagai fitur di GoBusiness akan meningkatkan angka kunjungan dan transaksi.
Menurutnya, salah satu kelebihan infrastruktur GoBusiness adalah fleksibilitas sistem yang bisa ditingkatkan atau diturunkan sesuai beban lalu lintas situs. Jadi, situs selalu siap untuk mengatasi jika terjadi lonjakan lalu lintas tinggi secara tiba-tiba. Misal seperti yang terjadi ketika pemerintah melakukan pengumuman tentang skema atau inisiatif terkait bisnis, seperti pengumuman terkait COVID-19, Anggaran 2023, dan pemberian hibah bisnis.
Untuk memastikan data pengguna dikelola dengan aman, GoBusiness mematuhi standar keamanan yang diberlakukan untuk semua sistem pemerintah secara ketat. Selain itu, semua informasi yang dikumpulkan dan diteruskan ke lembaga pemerintah lain dilakukan secara terenkripsi melalui saluran yang aman.
“Kami juga memanfaatkan SG Tech Stack untuk berintegrasi dengan produk seperti MyInfo untuk data pengguna. Pengguna harus masuk ke GoBusiness menggunakan Singpass mereka untuk mengakses informasi, transaksi, dan catatan bisnis mereka,” jelas Simon.
Selama desain dan pengembangan portal, GoBusiness telah melakukan wawancara dan pengujian pengguna. Mereka meminta umpan balik dari pengguna situs, yakni pemilik bisnis dan staf administrasi. Hingga saat ini, GoBusiness telah terhubung dengan lebih dari 500 bisnis dari berbagai industri.
“Kami terus melakukan sesi ini dengan bisnis karena GoBusiness akan terus berkembang dan memperluas layanannya. Umpan balik pengguna pada fitur yang ada juga dikumpulkan untuk memfasilitasi pengembangan selanjutnya,” tambahnya.
Untuk mengurangi waktu pengembangan dan kemungkinan kegagalam sistem, GoBusiness mengadopsi strategi penerapan Hijau/Biru. Sebelum melakukan rilis besar apa pun, tim melakukan pengujian beban, tinjauan kode sumber, pengujian keamanan untuk memastikan bahwa perilisan itu tidak mengganggu kinerja portal. Hal ini sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah Singapura.
Berbicara soal tantangan, Simon mengungkap salah satu tantangan terbesar adalah ketika mengonsolidasikan dan merangkai layanan dari berbagai lembaga pemerintah. Sebab, penyatuan ini memerlukan integrasi beberapa sistem yang memiliki definisi data dan spesifikasi API yang berbeda.
“Tim melakukan upaya yang signifikan dalam menciptakan solusi atau rekayasa ulang proses, serta meyakinkan pemangku kepentingan internal bahwa investasi yang dilakukan akan menghasilkan nilai yang signifikan,” terang Simon.
Tantangan lain adalah prioritas. Tim hanya memiliki sumber daya yang terbatas, sehingga penting untuk melakukan identifikasi masalah yang paling penting untuk ditangani terlebih dulu dan menilai signifikansi dampaknya bagi komunitas bisnis.
Untuk pengembangan GoBusiness ke depan, Simon mengungkap akan terus bekerja sama dengan lembaga pemerintah lain untuk menjembatani kesenjangan digital dengan industri. Mereka pun akan mengambil pendekatan yang lebih proaktif dalam menyampaikan rekomendasi layanan dan informasi pemerintah yang relevan kepada bisnis.
Strategi pengelolaan tim
Untuk menjaga fokus tim dengan perbedaan latar seperti yang terjadi di platform GoBusiness, Simon mengungkap pentingnya memiliki visi bersama dan menetapkan tujuan bersama. Hal penting lainnya adalah melakukan prioritas yang jelas berdasarkan data dan kebutuhan yang muncul
Tim juga melakukan pertemuan mingguan untuk membangun komunikasi dan kolaborasi yang terbuka. Pertemuan tersebut melibatkan semua anggota perwakilan pemerintah yang terlibat, yaitu SNDGO, MTI dan GovTech.
“Dalam tiap pertemuan, tim membahas masalah dan rencana solusi. Sudah ada budaya keterbukaan sejak dimulainya proyek, dan kerja yang kuat hubungan juga telah terjalin dalam enam tahun terakhir,” tuturnya.
Ketika menghadapi ketidaksepahaman, tim selalu kembali pada patokan utama yaitu memberikan layanan Government-to-Business yang lebih baik. Setiap konflik yang terjadi selalu dapat diselesaikan dan mencapai konsensus. Simon juga mengarahkan agar anggota tim untuk berani berinisiatif dalam mengeksekusi solusi dari masalah yang dihadapi. Kemudian, untuk mengukur dan menilai efektivitas pengembangan dan kolaborasi tim, langkah yang diterapkan oleh GoBusiness dengan melakukan evaluasi kepuasan pengguna.
OpenGov Asia has acknowledged the effectiveness of GovTech’s Asynchronous Data Exchange (ADEX) in facilitating the secure transmission and reception of real-time, lightweight data for both Whole-of-Government (WOG) and local companies. ADEX is a key component of the Singapore Government Tech Stack (SGTS) Communications Pillar, which also comprises API Exchange (APEX) and Cloud File Transfer (CFT).
Initially, ADEX was developed as the Sensor Data Exchange (SDX) and was incorporated into the Smart Nation Sensor Platform (SNSP). However, it has since evolved to support the exchange of not only sensor data but also non-sensor information. In this context, non-sensor data may include processed sensor data, such as raw sensor data after it has undergone processing and analysis.
ADEX facilitates the discovery and sharing of event data, including real-time status updates and event streams, across the Internet and Intranet. Subscribers receive the updates instantly upon publication of the events, while publishers have the flexibility to select the recipients of these updates.
Deployed on the Government on Commercial Cloud (GCC), ADEX allows the sharing of data up to the “restricted” classification level, without being deemed sensitive. It allows government departments to publish and subscribe to real-time data via a self-service portal on the Internet and Intranet of the GCC.
A secure event streaming platform and information sharing
The ADEX team has identified “Insider Threats” and Distributed Denial-of-Service (DDoS) attacks as the most common and prevalent security concerns for an event streaming platform. Insider threats arise when a user intentionally or inadvertently misuses the platform.
To mitigate this risk, the team implemented multi-factor authentication and role-based policies. In addition, they have established utilisation threshold limits and continuously monitor them proactively to prevent DDoS attacks from causing system disruption. Proper maintenance of user profiles is also essential to ensure that users have precise control over the data stream access.
The platform supports recognised data protocols and utilises Transport Layer Security (TLS) channels for communication. Proper maintenance of user profiles is also essential to ensure that users have precise control over the data stream access.
The ADEX team emphasises that in addition to the information, such as descriptions and tags, provided by the data source, it is crucial to preview the readily available data, verify the source of the data and understand where and how the data is extracted. It is essential to be vigilant for issues while consuming the data and to use validations to ensure the data is secure.
Implementing strong user passwords, multi-factor authentication, and trustworthy encryption techniques for data at rest and in transit, as with any other type of platform, is essential for protecting user data.
To safeguard against exploitable vulnerabilities, users must make sure to apply the latest security patches and updates regularly to their software and systems. Additionally, they should adhere to conventional security practices and adopt as many security measures as budgets permit.
The team explored the distinctions between APEX and ADEX. They revealed that APEX is an API platform designed for accessing centralised and secure government services, and primarily relies on HTTP REST to facilitate this access.
ADEX, despite being a centralised event streaming and data exchange platform, offers greater flexibility in how government entities communicate real-time data. It simplifies the process of locating and subscribing to real-time data from multiple sources. Additionally, an approval process provides more precise control over data access, ensuring that only authorised individuals can view specific information.
The team benefits from utilising analytics as they need to study messaging-related metrics and usage patterns, allowing them to continuously improve the system’s performance and better serve users. By gaining insights into system performance and user needs, they can make informed decisions and implement enhancements to ADEX over time.
ADEX is currently operational and meeting the needs of various government agencies, making it an ideal platform for agencies like the National Environment Agency (NEA) to share critical environmental information with stakeholders. It allows NEA to improve stakeholder engagement and information dissemination by releasing updated environmental data such as rainfall, temperature, wind speed and wind direction.
Organisations that do not manage sensor data may lack the domain expertise necessary to comprehend that their data could potentially be transferred in real-time. ADEX, previously referred to as the Sensor Data Exchange (SDX), was developed to simplify the exchange of real-time sensor data. The team maintains that educating consumers on asynchronous data transmission and increasing platform knowledge is an ongoing process.
The team acknowledges that government agencies may need time to acclimate to ADEX, which utilises an event-driven, publish-subscribe methodology. Moreover, it is understood that adopting new technology can be daunting.
Rather than relying on traditional approaches such as Secured File Transfer Protocol (SFTP) or Application Programming Interface (API) for system connectivity, agencies must be willing to embrace a different approach.
Establishing and promoting a culture of collaboration within government institutions necessitates patience and needs time. While agencies possess expertise in their specific domains, they may be unaware of how their data could assist other agencies. The team is optimistic that agencies will be willing to share their data on ADEX, allowing other agencies to explore the marketplace and discover new opportunities independently.
ADEX is not like OTT platforms that stream movies and TV shows. Rather, it serves as a central broker for real-time data from the government, which continuously streams. ADEX empowers data creators to manage and supervise data consumers.
Its real-time, asynchronous fire-and-forget data transfer capabilities can help public agencies overcome the burden of inefficient and outdated information exchanges. By facilitating a culture of sharing that fosters collaboration and creativity throughout the public sector, ADEX can potentially help agencies identify new use cases for better public service delivery.
With real-time access to reliable data, public agencies can make more informed decisions, respond to emergencies more effectively, and enhance their overall operations and service delivery.
About the team
The ADEX team acknowledges the benefits of having a diverse workforce in fostering creativity and innovation. A crew forged from a variety of fields can bring a wide range of perspectives and ideas to the table, resulting in more innovative solutions.
However, it is equally important to define clear goals for the team, which can help provide a focus for their creativity and ensure that their ideas align with the organisation’s overarching vision and mission. By combining a diverse workforce with well-defined goals, organisations can foster a culture of creativity and innovation that drives success.
The team has effective strategies and best practices to promote a creative workplace environment, including nurturing teamwork among employees. Collaborative initiatives provide employees with opportunities to work on projects together and create a culture that values teamwork and collective brainstorming.
Fostering a work environment that encourages risk-taking and experimentation can motivate employees to take chances and pursue innovative ideas, even if they do not always result in success. Providing employees with access to tools and resources, such as technology, training, and workshops, can help support their creativity and encourage them to explore new ideas and approaches.
In addition to encouraging open communication, providing constructive criticism and feedback on ideas and initiatives can help employees refine their ideas, leading to better outcomes. Moreover, they recognise the importance of celebrating triumphs and recognising individuals who have made significant contributions to the company’s creative endeavours.
The team acknowledges that a range of resources and support are necessary to ensure the success of the programme. This includes access to adequate funding, building a team of skilled and knowledgeable members, clear goals and objectives, supportive management, effective communication tools and technology, opportunities for ongoing training and development, and regular performance evaluations and feedback.
These provisions can help to ensure that the programme is aligned with organisational objectives and priorities, that the team is equipped to succeed and that there are mechanisms in place to monitor progress, address challenges and make necessary adjustments.
