
- Like
- Digg
- Del
- Tumblr
- VKontakte
- Buffer
- Love This
- Odnoklassniki
- Meneame
- Blogger
- Amazon
- Yahoo Mail
- Gmail
- AOL
- Newsvine
- HackerNews
- Evernote
- MySpace
- Mail.ru
- Viadeo
- Line
- Comments
- Yummly
- SMS
- Viber
- Telegram
- Subscribe
- Skype
- Facebook Messenger
- Kakao
- LiveJournal
- Yammer
- Edgar
- Fintel
- Mix
- Instapaper
- Copy Link
The newly established Department for Science, Innovation, and Technology (DSIT) of the United Kingdom has released its National Semiconductor Strategy, outlining intentions to invest £1 billion (S$1.85 billion) in the semiconductor industry over the next decade.
Dr Shih-Chieh Chang of Taiwan’s Industrial Technology Research Institute (ITRI) has expressed interest in collaborating with the United Kingdom, emphasising Taiwan’s reliability as a partner. The purpose of the collaboration is to leverage the strengths of both nations to accomplish mutually beneficial outcomes.
He emphasised that ITRI’s expertise in semiconductor technology research and development can be complemented by the United Kingdom’s capabilities in semiconductor IP design and compound semiconductor technology.
ITRI can provide consultation services for advanced packaging pilot lines, assist with pre-production evaluation, and connect UK semiconductor IP design firms to Taiwan’s industrial chain. This collaboration would benefit both Taiwan and the United Kingdom by enhancing the resilience of the semiconductor supply chain.
In recent years, the United Kingdom has increased its collaboration with Taiwan on semiconductors. The Compound Semiconductor Applications Catapult (CSA Catapult) signed an MOU with ITRI in 2020, and the Department for Business and Trade (DBT) is concentrating on the Digital Trade Network in Taiwan to increase semiconductor trade and investment.
The Digital Trade Network will serve as a platform to facilitate and streamline trade processes, improve information exchange, and encourage greater collaboration in the semiconductor industry. By leveraging digital technologies and connectivity, the network will facilitate the exchange of expertise, market insights, and business opportunities between British and Taiwanese businesses.
The objective is to foster an environment conducive to increased bilateral trade, investment, and knowledge transmission in the semiconductor industry, thereby fostering economic expansion and innovation in both countries.
In addition, the British Office in Taipei recognises ITRI’s role in the development of Taiwan’s semiconductor industry and seeks additional cooperation in the areas of technological innovation, supply chain collaboration, and partnership strengthening.
Dr Shih-Chieh proposed several collaborative initiatives to align with the UK’s National Semiconductor Strategy objectives. These include establishing relevant pilot lines, providing necessary resources, and providing design, packaging, and testing consultation services. Such partnerships would reduce the United Kingdom’s reliance on external suppliers, generate employment opportunities, and strengthen the nation’s resilience in the global market.
ITRI has already partnered with a British manufacturer of semiconductor apparatus and a manufacturer of semiconductor intellectual property, resulting in accomplishments in a variety of fields. These collaborations have contributed to the development and analysis of Micro LED, silicon photonics, and nanoscale, among others. ITRI intends to expand its collaborative efforts with the United Kingdom in 2023, creating win-win opportunities for both parties.
The country believes that digital tools enable sophisticated design and simulation capabilities, enabling engineers to create and test complex semiconductor architectures with greater precision and velocity. This accelerates product development cycles and enables innovative design creation.
During semiconductor manufacturing, digitalisation facilitates real-time monitoring and data analysis, facilitating early detection of defects or anomalies. This contributes to increased product quality, dependability, and yield rates, resulting in cost savings and customer satisfaction.
Also, digitalisation improves supply chain visibility and coordination throughout the semiconductor industry. It enables real-time data sharing, inventory management, demand forecasting, and logistics optimisation, resulting in increased supply chain efficiency, decreased lead times, and lower costs.
The incorporation of digital technologies into the semiconductor industry allows for seamless connectivity with the Internet of Things (IoT). This facilitates the development of intelligent devices and systems, which creates new market opportunities and drives innovation in industries such as automotive, healthcare, consumer electronics, and industrial automation.
- Like
- Digg
- Del
- Tumblr
- VKontakte
- Buffer
- Love This
- Odnoklassniki
- Meneame
- Blogger
- Amazon
- Yahoo Mail
- Gmail
- AOL
- Newsvine
- HackerNews
- Evernote
- MySpace
- Mail.ru
- Viadeo
- Line
- Comments
- Yummly
- SMS
- Viber
- Telegram
- Subscribe
- Skype
- Facebook Messenger
- Kakao
- LiveJournal
- Yammer
- Edgar
- Fintel
- Mix
- Instapaper
- Copy Link
Jika melihat masa lalu, peran pengendalian keamanan tradisional seperti militer angkatan udara, darat, dan laut sudah menjadi tanggung jawab utama pemerintah dalam menghadapi berbagai ancaman dari luar, seperti perebutan wilayah, aksi terorisme, atau bahaya fisik lainnya. Akan tetapi, dalam Panel Diskusi ASEAN Cyber Security Forum di Kuala Lumpur Malaysia, yang dipandu oleh Mohit Sagar selaku CEO dan Kepala Redaktur OpenGov Asia, menyatakan bahwa konsep keamanan saat ini telah mengalami perluasan. Kini, keamanan tidak hanya terbatas pada aspek fisik semata, melainkan juga merambah ke ranah keamanan siber yang menjadi titik perubahan yang signifikan dalam cara sebuah negara harus mengendalikan dan melindungi diri di era digital ini.
Mohit dengan tegas menggarisbawahi bahwa jika sebelumnya peran utama pemerintah adalah dalam melindungi negara dari ancaman fisik, maka kini keamanan siber menjadi tanggung jawab seluruh entitas di berbagai sektor. Ancaman-ancaman siber dapat muncul dari berbagai sumber, termasuk peretasan data, serangan siber, dan penyebaran informasi palsu yang dapat mengganggu stabilitas suatu negara dan masyarakatnya.
Pentingnya keamanan siber ini juga diakui oleh Shariffah Rashidah Syed Othman, yang menjabat sebagai Acting Chief Executive di National Cyber Security Agency of Malaysia (NACSA). Dalam diskusi tersebut, Shariffah menyatakan bahwa kerjasama antar entitas, baik pemerintah, sektor swasta, maupun masyarakat sipil, merupakan hal penting yang harus dilakukan untuk secara efektif menghalau ancaman-ancaman siber yang dapat muncul sewaktu-waktu.
Sebagai salah satu penduduk ASEAN, Shariffah mengatakan bahwa pentingnya kerja sama kolaboratif di tingkat domestik atau negara tidak bisa diabaikan. Dalam era globalisasi dan interkoneksi yang semakin erat, tantangan dan peluang yang dihadapi oleh suatu negara tidak hanya bersifat lokal, tetapi juga melibatkan wilayah regional dan internasional. Oleh karena itu, menghimpun para pemangku kepentingan dari berbagai lapisan masyarakat dan sektor menjadi suatu keharusan untuk mencapai kesepakatan yang holistik dan berkelanjutan.
“Kerjasama yang solid dan saling mendukung antarentitas akan memungkinkan pembentukan pertahanan siber yang tangguh dan adaptif, siap merespons dan mencegah ancaman-ancaman siber yang terus berkembang,” ungkap Shariffah.
Dalam konteks Asia, peran ASEAN sebagai organisasi regional memainkan peran kunci dalam menyatukan pandangan dari negara-negara anggotanya. ASEAN telah menjadi platform penting untuk berdialog, bernegosiasi, dan mencari solusi bersama terhadap berbagai isu yang berkaitan dengan politik, ekonomi, keamanan, dan sosial di kawasan tersebut. Dalam konteks ini, menyatukan pandangan nasional dengan pandangan ASEAN menjadi langkah penting untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan dan mencerminkan kepentingan bersama.
Kolaborasi Antar Entitas Membuka Kesempatan Bertumbuh Lebih Cepat

Ketika semua panelis sepakat terkait premis kerjasama dan kolaborasi, kemudian, muncullah sebuah pertanyaan terkait cara mengharmonisasikan berbagai entitas di ASEAN untuk dapat mencapai tujuan yang sama, terutama dalam lanskap keamanan siber.
Dalam hal ini, Mohit memberikan kesempatan kepada Shamsul Bahri Hj Kamis selaku Interim Commissioner di Cybersecurity, Brunei CSB, untuk menjawab.
Shamsul menekankan bahwa seluruh entitas perlu mengkaji lebih lanjut mengenai mekanisme-mekanisme yang telah ada saat ini. Seperti misalnya, pada tahun 2017, anggota ASEAN telah mengambil langkah maju dengan mengadopsi strategi kerja sama keamanan siber. Hal ini menandakan adanya rencana objektif untuk periode lima tahun ke depan yang bertujuan mengatasi tantangan keamanan siber di kawasan ASEAN.
Kebijakan ini bertujuan untuk mengatasi tantangan komunikasi yang muncul dari beragam kelompok sektoral dalam ASEAN yang bekerja dalam bidang keamanan siber. Ini menjadi tantangan yang cukup kompleks karena proses pengambilan keputusan di ASEAN berbasis konsensus, yang terkadang dapat menghambat kemajuan.
Akan tetapi, berbagai langkah untuk mengatasi keamanan siber di ASEAN sudah berlangsung. Tim Tanggap Darurat Komputer ASEAN (ASEAN CERT), yang mengkoordinasikan respons terhadap insiden keamanan siber, dan Program Kapasitas Keamanan Siber ASEAN, yang memberikan pelatihan dan bantuan kepada negara-negara anggota ASEAN dalam mengembangkan kemampuan keamanan siber mereka, adalah dua contohnya.
“Untuk melangkah maju, ASEAN harus merumuskan strategi untuk lebih efektif berbagi informasi dan berkolaborasi dalam mengatasi ancaman siber yang paling serius,” jelas Shamsul. “Ini akan memerlukan kerja sama yang erat antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat sipil.”
Shamsul melanjutkan bahwa upaya ASEAN untuk melancarkan komunikasi yang saat ini terkait dengan keamanan siber menunjukkan komitmen mereka dalam meningkatkan koordinasi dan efektivitas dalam menangani isu-isu terkait.
“Langkah ini penting karena menghadapi ancaman siber yang semakin kompleks dan meluas memerlukan sinergi dari seluruh anggota untuk meningkatkan keamanan dan melindungi infrastruktur serta data penting dari serangan siber yang dapat mengganggu stabilitas dan perkembangan di kawasan ini,” ungkapnya.
Lebih jauh, Shamsul menegaskan bahwa ASEAN harus memperkuat kerangka kerja dari kerja sama regional yang melibatkan negara-negara anggotanya dalam berbagi informasi, pengalaman, dan sumber daya terkait keamanan siber. Selain itu, kerja sama juga harus diperluas ke sektor swasta, lembaga akademis, dan organisasi masyarakat sipil yang memiliki peran dan kepentingan dalam menciptakan ekosistem keamanan siber yang kokoh dan berdaya tahan.
Kolaborasi dapat Memperkuat Keamanan Siber secara Kolektif

David Koh selaku Komisioner Cybersecurity and Chief Executive di Cyber Security Agency (CSA) Singapura mengafirmasi pendapat Shamsul dan Shariffahterkait inklusivitas kolaborasi keamanan siber.
Sebagai negara yang berambisi ingin menjadi pusat keamanan global (cyber security hub), Singapura juga sudah berupaya untuk secara aktif melibatkan akademisi dan masyarakat sipil dalam upaya keamanan siber kolaboratif dalam memanfaatkan upaya dan sumber daya mereka juga. David menegaskan bahwa tanggung jawab keamanan siber bukan merupakan tanggung jawab individu, melainkan ini merupakan tanggung jawab kolektif, secara nasional maupun internasional.
Akan tetapi, David menekankan bahwa upaya kolaborasi ini tentu akan menemui tantangan tersendiri. Mengingat setiap entitas memiliki perspektif dan motivasi yang berbeda, maka diperlukan strategi untuk dapat menyelaraskan motivasi-motivasi tersebut sehingga mereka dapat bekerja sama. Entitas atau pihak-pihak yang terlibat perlu saling berpindah peran seperti menukar peran antara industri dan pemerintah.
Pertukaran peran antara industri dan pemerintah menjadi cara untuk memahami perspektif satu sama lain dengan lebih baik. Industri dapat mengambil peran pemerintah untuk memahami tantangan dan kompleksitas dalam mengelola kebijakan dan regulasi untuk mencapai tujuan keamanan dan kesejahteraan publik. Sementara pemerintah dapat memainkan peran angkah untuk memahami tekanan dan tantangan yang dihadapi oleh perusahaan dalam menciptakan inovasi dan pertumbuhan ekonomi.
Dalam menghadapi perbedaan pandangan dan motivasi, kunci pentingnya adalah mencari titik temu dan kesamaan tujuan.
Sejauh ini, David sudah memulai untuk mengimplementasikan inklusifitas kemanan siber ini. Seperti contohnya, David telah menciptakan program untuk membantu UKM dalam memperkuat posisi keamanan siber mereka. Salah satu inisiatif ini adalah melalui Cyber Essentials, yang menawarkan seperangkat langkah keamanan siber dasar yang harus diikuti oleh semua perusahaan.
Cyber Essentials mencakup empat area penting, termasuk:
- Manajemen aset: Ini mencakup kesadaran tentang keamanan siber bagi karyawan, dan mengklasifikasikan serta mengidentifikasi setiap aset di perusahaan, termasuk perangkat keras, perangkat lunak, dan data.
- Akses yang Aman dan Perlindungan: Ini melibatkan pembatasan siapa yang memiliki akses dan apa yang dapat mereka lakukan dengan sumber daya perusahaan.
- Pembaruan, Cadangan, dan Tanggap. “UKM dapat memulai dengan mengadopsi Cyber Essentials sebagai langkah awal untuk memperkuat posisi keamanan siber mereka,” kata David. “Namun, ini hanya pembatasan awal, dan UKM mungkin perlu menerapkan langkah-langkah tambahan berdasarkan persyaratan dan ancaman yang khusus.”
Jika UKM ingin memperkuat posisi keamanan siber mereka, mereka harus memulai dengan Cyber Essentials,” kata David.
Penting untuk diingat bahwa ini hanya pembatasan dasar. Bergantung pada persyaratan dan bahaya khusus mereka, UKM mungkin perlu menerapkan langkah-langkah tambahan, dan CSA bersedia untuk berbagi kerangka kerja mereka dengan mitra regional seperti Malaysia dan Brunei.
Selain Cyber Essentials, CSA juga menyediakan berbagai alat untuk mendukung UKM dalam meningkatkan pertahanan keamanan siber mereka. Sumber daya ini mencakup program pelatihan keamanan siber yang disesuaikan untuk UKM, hotline keamanan siber yang didedikasikan, dan daftar konsultan keamanan siber bersertifikasi yang dapat membimbing UKM dalam mengimplementasikan Cyber Essentials secara efektif.
Dengan memanfaatkan alat-alat CSA ini, UKM dapat secara signifikan memperkuat pertahanan keamanan siber mereka dan melindungi bisnis mereka dari ancaman online, memastikan keamanan dan perlindungan terhadap aset berharga dan informasi sensitif mereka.
Selain inisiatif CSA, UKM dapat memperkuat posisi keamanan siber mereka melalui berbagai langkah, termasuk memastikan pembaruan perangkat lunak secara berkala, yang seringkali mencakup patch keamanan penting untuk melindungi dari kerentanannya yang diketahui. Individu dapat meningkatkan keamanan siber mereka dengan menggunakan kata sandi yang kuat dan perangkat lunak pengelola kata sandi, sementara organisasi dapat memberi pendidikan kepada staf mereka tentang ancaman keamanan siber.
“Kita harus berusaha menyelaraskan motivasi dan kepentingan antara masyarakat dan pemerintah sehingga dapat menciptakan lingkungan kerja sama yang produktif,” tekan David.
Melakukan dialog terbuka dan inklusif, serta komitmen untuk mencari solusi yang saling menguntungkan, merupakan prioritas yang harus diimplementasikan guna mencapai tujuan kolaborasi yang efektif. Akan tetapi, sebuah kolaborasi tentu akan tercipta ketika setiap orang saling melakukan pertukaran kemampuan.
Peningkatan Kecakapan Digital Literasi Terhadap Tenaga Kerja

Dalam diskusi tersebut, Shariffahmenjelaskan bahwa istilah siber merupakan istilah baru belakangan ini. Terkadang, tidak semua individu berbicara dalam bahasa yang sama, terutama bagi orang-orang teknologi yang benar-benar memahami tentang keamanan siber dan orang awam secara umum. Shariffah mencoba memberikan penyederhanaan sebuah cerita dari rekan kerjanya yang kesulitan dalam memahami ekosistem digital.
“Rekan kerja saya kesulitan memahami ekosistem digital dan keamanan siber. Dengan demikian, saya terdorong untuk memiliki rasa empati terhadap mereka,” ungkapnya.
Shariffahmenyadari bahwa tidak hanya organisasi yang harus peduli tentang keamanan siber, tetapi setiap individu juga harus memiliki peran dan tanggung jawab dalam menjaga keamanan diri mereka sendiri dan lingkungan digital yang mereka kelola.
Lebih jauh, Shariffahmenjelaskan bahwa untuk mendorong kolaborasi dan rasa empati tersebut, ASEAN dapat menerapkan 3 inisiatif dengan mengintegrasikannya kepada setiap pilar ASEAN dalam upaya menghadapi tantangan keamanan siber.
Langkah pertama penting yang telah diambil adalah pendirian Pusat Pembangunan Keamanan Siber (Cyber Security of Building Centre). Beberapa diantaranya sudah diterapkan di Singapura serta Thailand yang bermitra dengan Jepang.
Pusat ini dapat menjadi wadah kolaboratif bagi negara-negara ASEAN untuk meningkatkan kapabilitas keamanan siber mereka. Dengan kerjasama lintas batas ini, ASEAN dapat memperkuat pertahanan dan respons kolektif terhadap ancaman siber yang semakin kompleks belakangan ini.
Langkah kedua adalah dengan mengadakan latihan keamanan siber lintas batas, yang melibatkan berbagai negara ASEAN. Melalui latihan ini, ASEAN dapat menguji dan meningkatkan kesiapannya dalam menghadapi ancaman siber yang melintasi batas negara.
“Namun, perlu diingat bahwa keamanan siber tidak hanya mengenai melindungi diri kita sendiri, tetapi juga melibatkan perlindungan terhadap tetangga kita. Tindakan yang kita lakukan saat ini, baik di pemerintahan maupun sektor swasta, akan berdampak pada generasi mendatang. Oleh karena itu, kita harus bertanggung jawab dan berkomitmen untuk menciptakan ekosistem keamanan siber yang kuat dan berkelanjutan,” jelas Sharifarashida.
Selain itu, juga melakukan evaluasi dari berbagai aspek secara teknis dan non-teknis dalam latihan ini. Diskusi tentang kemungkinan eskalasi ancaman ke tingkat yang lebih tinggi juga telah dimulai. Dengan demikian, ASEAN dapat bersiap menghadapi segala kemungkinan tantangan yang dapat muncul dalam keamanan siber.
Langkah ketiga adalah dengan membentuk kerangka strategi untuk membangun mekanisme ketahanan siber ASEAN.
Dalam mencapai tujuan ini, Malaysia juga telah berdiskusi tentang pentingnya membangun kerangka kerja keamanan siber yang tepat untuk ASEAN. Hal ini mencakup pengembangan mekanisme yang sesuai untuk sertifikasi Keamanan Siber Nasional Regional ASEAN (RCN certs). Dengan memiliki kerangka kerja yang solid, organisasi dapat meningkatkan kerjasama dan koordinasi antara negara-negara anggota ASEAN dalam menghadapi tantangan keamanan siber yang kompleks.
Diskusi pagi yang dipandu oleh Mohit semakin menarik ketika ia menyoroti tantangan utama dalam mengimplementasikan kolaborasi, yaitu bagaimana meyakinkan individu agar mau dan mampu melakukan kerja sama. Masalah ini adalah inti dari upaya menciptakan kerangka kerja yang kokoh untuk memperkuat kolaborasi antarentitas dalam menghadapi isu-isu keamanan dan tantangan terkini.
Terkadang, mungkin ada ketidakpercayaan, perbedaan kepentingan, atau bahkan rasa ketakutan dalam bekerja sama. Seperti misalnya, ketika siap untuk melakukan kolaborasi, ada beberapa pihak yang mungkin belum sepenuhnya percaya untuk berbagi informasi kepada pihak lain. Tentu ini menjadi penghalang dalam melakukan kolaborasi.
Dengan demikian, Mohit percaya bahwa diperlukan pendekatan yang bijaksana untuk merangkul semua pihak dan memastikan bahwa keuntungan dan manfaat dari kolaborasi melebihi kerugian atau risiko yang dirasakan.
Shamsul memulai untuk menanggapi isu tersebut. Ia meyakini bahwa kepercayaan adalah hal yang sangat penting terutama ketika kita ingin berkolaborasi, terutama dalam dunia yang berubah-ubah dan dinamis, tentu dibutuhkan waktu untuk memperoleh kepercayaan.
Namun, tentu saja, beberapa inisiatif sudah dilakukan oleh beberapa negara ASEAN. Salah satu inisiatif yang telah dimulai adalah yang disebut ASEAN Partners Search Information Sharing. Inisiatif ini digagas oleh Cyber Security Agency of Singapore yang mendorong semua pemilik sertifikat keamanan siber ASEAN untuk berbagi informasi mengenai ancaman di ruang siber mereka dengan pihak-pihak yang terlibat.
Hal ini sejalan dengan adopsi atau penerimaan oleh semua negara anggota ASEAN, di mana setiap anggota perlu menjaga sebanyak mungkin kebersihan ruang siber dan mencegah ruang siber dari serangan atau dampak pada infrastruktur informasi kritis. Inilah wadah di mana kepercayaan dapat ditingkatkan.
Di sini, penting untuk menyadari bahwa kepercayaan dalam berbagi informasi atau pengetahuan yang signifikan tidak dapat dianggap remeh. Proses berbagi ini harus dilakukan melalui mekanisme formal yang tepat dan terpercaya, sehingga setiap pihak merasa nyaman dan yakin bahwa data yang mereka berikan akan dikelola dengan aman dan sesuai dengan tujuan bersama.
Salah satu cara untuk memperkuat kepercayaan ini adalah melalui pembuatan platform yang menjadi milik bersama. Dengan mendirikan platform yang dikelola secara bersama-sama, setiap anggota dapat merasa memiliki dan berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan terkait penggunaan dan akses informasi. Pengelolaan bersama ini juga mencerminkan nilai-nilai kolaboratif dan transparansi, di mana semua pihak berkontribusi pada keamanan dan keberhasilan platform tersebut.
Mohit menyoroti David Koh terkait upaya yang sudah dilakukan Singapura dalam menjalin kolaborasi dan inklusivitas keamanan siber antar publik-swasta. David menjelaskan bahwa CSA Singapura sendiri sudah menjalin kerja sama dengan beberapa perusahaan teknologi. Salah satu di antaranya adalah mitra kerjasama mereka yang siap berbagi informasi intelijen mengenai ancaman dan detail teknis.
Dengan dukungan informasi tersebut, mereka dapat berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan terkait untuk mendapatkan detail teknis, termasuk Indicators of Compromise (Iocs) yang dapat diberikan kepada perusahaan-perusahaan untuk memeriksa jaringan CSA Singapura sendiri dan memastikan apakah ada indikasi serangan siber terhadap CSA.
David menyadari bahwa CSA tidak dapat melakukannya sendiri. Akan tetapi berkat kemitraan dengan perusahaan teknologi swasta yang memberi mereka informasi, mereka akhirnya dapat mengimplementasikannya dalam lingkungan CSA.
David menegaskan bahwa hal ini merupakan bagian dari upaya inisiatif ASEAN CERT dalam kerangka keamanan siber ASEAN yang lebih luas. Selain itu, David melihat bahwa hal-hal semacam ini dapat dijadikan platform untuk mengadaptasi gagasan-gagasan dan pengalaman yang telah diuji coba agar dapat diimplementasikan dengan seluruh negara anggota ASEAN lainnya.
David sadar betul bahwa semua negara anggota ASEAN berada dalam lingkungan yang sama, dengan populasi sekitar 650 juta orang. Kekuatan bersama ASEAN terletak pada kerjasama antara negara-negara tersebut. Ia percaya bahwa jika pendekatan ini dapat diterapkan dan semua negara bekerja sama, maka kesatuan ASEAN dalam menghadapi ancaman siber akan semakin kuat.
Seluruh panelis dalam diskusi, termasuk Mohit sendiri sebagai moderator, tampaknya telah mencapai kesepakatan atau memiliki pandangan yang sama mengenai pentingnya keamanan siber di wilayah ASEAN. Dengan demikian, Mohit mempertanyakan terkait bagaimana ide ini dapat ditangkap oleh masyarakat umum dan bagaimana meningkatkan kesadaran keamanan siber di anatar mereka.
Sebagai tuan rumah dalam acara ASEAN Cyber Security Forum 2023, Mohit meminta ShariffahSai Othman untuk memberikan paparan terkait hal ini.
Shariffahmenegaskan bahwa setiap insiden yang terjadi dalam bidang keamanan siber, baik itu ransomware, pelanggaran data, serangan Distributed Denial of Service (DDoS), atau bentuk serangan lainnya, seringkali disebabkan oleh kendali keamanan yang tidak efektif. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya faktor manusia. Oleh karena itu, konsep “human firewall” menjadi sangat penting dalam melindungi dari ancaman siber.
Human firewall adalah konsep keamanan siber yang mengacu pada peran aktif dan proaktif dari individu sebagai bentuk pertahanan pertama dalam melindungi organisasi atau lingkungan dari ancaman siber. Konsep ini mengakui bahwa setiap individu yang terlibat dalam penggunaan teknologi dan akses ke jaringan memiliki peran kunci dalam menjaga keamanan dan privasi data.
Sebagai human firewall, setiap anggota organisasi diharapkan untuk menjadi waspada terhadap potensi ancaman siber, seperti serangan I, atau upaya peretasan. Mereka diberdayakan untuk mengenali dan melaporkan aktivitas mencurigakan, serta untuk mengikuti praktik keamanan terbaik dalam penggunaan perangkat dan data.
Mengembangkan human firewall adalah suatu proses yang melibatkan edukasi, pelatihan, dan kesadaran tentang keamanan siber. Individu diajarkan untuk mengidentifikasi tanda-tanda serangan siber, memahami risiko keamanan, dan mengambil tindakan pencegahan yang tepat. Hal ini juga melibatkan pembentukan budaya keamanan di dalam organisasi, di mana setiap anggota tim merasa bertanggung jawab dan berkontribusi untuk menjaga keamanan informasi.
Penting untuk mengenali bahwa ancaman siber dapat berasal dari berbagai sumber dan memiliki metode yang terus berkembang. Oleh karena itu, pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan adalah kunci dalam menjaga human firewall yang efektif. Organisasi perlu mengadakan pelatihan rutin, sesi pengembangan, dan ujian keamanan siber untuk memastikan bahwa anggota tim tetap up-to-date dengan tren dan taktik terbaru dalam dunia siber.
Selain itu, kolaborasi dan berbagi informasi tentang ancaman siber juga merupakan bagian penting dari mengembangkan human firewall yang kuat. Ketika individu dan organisasi berbagi pengetahuan tentang serangan yang mereka alami atau temui, hal ini membantu meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan secara keseluruhan.
Pentingnya human firewall tidak hanya berdampak pada tingkat individu atau organisasi, tetapi juga pada tingkat nasional. Jika setiap organisasi memiliki human firewall yang kuat, potensi ancaman siber terhadap infrastruktur dan data negara dapat terminimalisir. Oleh karena itu, upaya untuk mengembangkan human firewall harus menjadi prioritas bagi seluruh entitas yang terlibat dalam dunia digital saat ini.
Sebelumnya, David sudah menjelaskan pentingnya replikasi belajar dari praktik-praktik sukses di negara-negara atau organisasi tertentu terkait keamanan siber ke negara-negara ASEAN. Akan tetapi, Shariffahmenyangkal bahwa keamanan siber tidak bisa diterapkan dengan satu pendekatan yang sama untuk semua negara, sebab keamanan siber melibatkan pemahaman tentang perilaku manusia dan aspek budaya yang terkait negara tersebut. Oleh karena itu, perlu kembali kepada dasar-dasar bagaimana perilaku manusia berinteraksi dengan budaya dan masyarakatnya untuk memperkuat praktik keamanan siber di masing-masing negara.
Dalam konklusinya, Shariffahjuga menekankan kembali bahwa upaya kolektif diperlukan, melibatkan tidak hanya pemerintah tetapi juga sektor swasta, LSM, dan pemangku kepentingan lainnya. Peran mereka sangat penting bukan hanya untuk memberikan dukungan, tetapi juga dalam membangun kolaborasi dengan pemerintah dan menuntut perbaikan lebih lanjut.
Seperti yang telah disebutkan dalam diskusi panel, pemerintah mungkin tidak memiliki semua jawaban dalam hal keamanan siber, dan membangun kepercayaan menjadi sangat penting.
“Kepercayaan itu rapuh; butuh waktu dan usaha untuk dibangun namun mudah untuk hancur,” ungkapnya.
Lebih lanjut, dalam membangun dan menjaga kepercayaan antarkelompok, transparansi menjadi kunci. Komunikasi terbuka dan keterlibatan yang berkelanjutan di antara semua pemangku kepentingan adalah penting dalam menciptakan lingkungan di mana risiko siber dapat diidentifikasi dan ditangani dengan efektif.
Dengan bekerja sama, berbagi pengetahuan, dan membudayakan kerja sama, negara-negara ASEAN dapat memperkuat pertahanan keamanan siber mereka dan secara kolektif melawan ancaman siber. Pendekatan ini tidak hanya memberdayakan individu dan organisasi untuk proaktif melindungi diri mereka sendiri, tetapi juga membangun ekosistem keamanan siber yang lebih kuat dan tangguh di seluruh kawasan di ASEAN.
- Like
- Digg
- Del
- Tumblr
- VKontakte
- Buffer
- Love This
- Odnoklassniki
- Meneame
- Blogger
- Amazon
- Yahoo Mail
- Gmail
- AOL
- Newsvine
- HackerNews
- Evernote
- MySpace
- Mail.ru
- Viadeo
- Line
- Comments
- Yummly
- SMS
- Viber
- Telegram
- Subscribe
- Skype
- Facebook Messenger
- Kakao
- LiveJournal
- Yammer
- Edgar
- Fintel
- Mix
- Instapaper
- Copy Link
University of Michigan researchers have uncovered a connection between cellular mechanisms associated with cystic fibrosis and a rare disease called cystinosis, using insights from the world of digital technology. These mechanisms involve the cleanup of mutated proteins and their impact on cell health.
In cystinosis, a genetic disorder, malfunctioning cellular mechanisms lead to the accumulation of cystine crystals within cells, causing cell disruption and harm to tissues and organs, particularly the kidneys and eyes. The root of this problem lies in the lysosome, known as the cell’s recycling centre, which usually processes cellular waste, breaks it down into reusable materials, and reintroduces them into the cell.
However, when a protein responsible for transporting recycled amino acids back into the cell mutates and fails, a cellular process called endoplasmic-reticulum-associated degradation (ERAD) comes into play. ERAD cleans up the faulty protein, allowing amino acids like cystine to accumulate within the lysosome.
To tackle this issue, Varsha Venkatarangan, a graduate student at the University of Michigan, conducted experiments using fibroblasts derived from patients with cystinosis. She discovered that ERAD was the mechanism at play, causing the rapid degradation of mutant proteins. Notably, ERAD is also involved in other diseases, including a significant form of cystic fibrosis.
The significance of digital technology is increasingly indispensable in modern healthcare. This revelation serves as a compelling testament to the pivotal role that digital technology plays in managing diseases and has the potential to revolutionise the healthcare field. Notably, the application of chemical chaperones, a prime example of precision medicine, brings to light the convergence of cutting-edge biological research and innovative digital solutions.
The implications of this discovery extend beyond cystinosis, reaching into the realm of personalised medicine. With the ability to target specific genetic mutations using digital tools, medical researchers are advancing towards treatments that cater to the unique genetic makeup of individual patients. This shift from a one-size-fits-all approach to tailored interventions marks a significant advancement in healthcare. It exemplifies how tailored interventions, guided by genetic insights and facilitated by digital technology, are becoming increasingly feasible and promising.
“This intersection of biology and digital technology is opening up new frontiers in healthcare, offering fresh insights and opportunities for more effective treatments,” Varsha said.
Moreover, integrating digital technology in healthcare is more comprehensive than precision medicine. It encompasses many applications, from artificial intelligence-powered diagnostics to remote patient monitoring using wearable devices. These digital innovations promise to enhance patient care, streamline processes, and improve overall health outcomes.
As researchers continue to explore the intersection of biology and digital technology, people can anticipate a wave of transformative breakthroughs that have the potential to reshape the landscape of healthcare. From early disease detection to more precise and effective treatments, the fusion of these disciplines heralds a new era in healthcare, where individualised care based on genetic profiles becomes the norm, ultimately leading to improved patient outcomes and a higher quality of life.
Varsha emphasised, “This synergy between biology and digital innovation has the potential to usher in a new era of personalised medicine, where treatments are tailored to individual genetic profiles, promising a brighter future for healthcare.”
- Like
- Digg
- Del
- Tumblr
- VKontakte
- Buffer
- Love This
- Odnoklassniki
- Meneame
- Blogger
- Amazon
- Yahoo Mail
- Gmail
- AOL
- Newsvine
- HackerNews
- Evernote
- MySpace
- Mail.ru
- Viadeo
- Line
- Comments
- Yummly
- SMS
- Viber
- Telegram
- Subscribe
- Skype
- Facebook Messenger
- Kakao
- LiveJournal
- Yammer
- Edgar
- Fintel
- Mix
- Instapaper
- Copy Link
In the era of rapid technological advancement, the development of science has become increasingly dynamic and fast-paced. Higher education institutions, such as colleges and universities, must possess a high level of adaptability to keep pace with these changes. The continuous progress of science presents challenges and new opportunities for academic institutions.
Academic institutions must understand that science is constantly advancing. Every discovery, current research, or technological development can shift our paradigms and understanding of the world. Therefore, higher education institutions must continually strive to remain relevant and responsive to these changes.
It includes curriculum adjustments, new programme development, educational facilities and technology enhancement. Furthermore, academic institutions should also promote research and innovation among their faculty and students. They can become centres of evolving innovation and knowledge by encouraging interdisciplinary collaboration and investing in relevant research.
Mahidol University recognises the significance of transformations in the modern educational landscape. These transformations extend beyond the realm of science and technology majors, encompassing even the humanities and social sciences.
In light of this, Associate Professor Dr Vichita Ractham, the Dean of the College of Management at Mahidol University, and Associate Professor Dr Prattana Punnakitikashem, the Deputy Dean for Academic Affairs at the College of Management, recently participated in a significant event. They joined Professor Tan Kian Lee, the Dean of the School of Computing at the National University of Singapore, in a momentous Memorandum of Understanding (MoU) signing ceremony.
Technology has facilitated new avenues for exploration and analysis in the realm of humanities and social sciences. Scholars in these fields can harness the power of digital tools and data analytics to delve deeper into historical archives, analyse societal trends, and gain fresh insights into human behaviour and culture. Digital humanities, for instance, has emerged as an exciting field that leverages technology to enhance our understanding of literature, history, linguistics, and more.
It was to formalise an academic collaboration between Mahidol University and the National University of Singapore. The MoU signifies a commitment to future academic cooperation, setting the stage for various collaborative initiatives between the two institutions.
These initiatives could encompass joint research projects, student exchanges, faculty collaborations, and various academic programmes designed to enhance both universities’ educational and research experiences.
Incorporating technology into humanities and social sciences curricula enhances the educational experience for students, preparing them for a world where digital literacy and critical thinking are essential skills. It also encourages innovative teaching methods, such as blended learning, flipped classrooms, and online forums for intellectual discourse.
The signing ceremony, held at the School of Computing, National University of Singapore, marked a significant milestone in fostering stronger ties between these esteemed institutions of higher learning. It represents a shared vision of promoting academic excellence, knowledge sharing, and international cooperation in education.
This academic collaboration promises to open new horizons for Mahidol University and the National University of Singapore. It is a testament to the belief in the transformative power of education and research in shaping the future and creating opportunities for students, faculty, and researchers from both universities.
As the MoU sets the foundation for this collaborative journey, it is with optimism and enthusiasm that both institutions look forward to the exciting possibilities and contributions this partnership will bring to academia and beyond.
As Mahidol University continues to evolve and adapt to these transformations, it reaffirms its commitment to providing a well-rounded education that integrates technology and humanistic values. By recognising the importance of technology in science and humanities majors, the university prepares its students to navigate the complexities of our digital age.
- Like
- Digg
- Del
- Tumblr
- VKontakte
- Buffer
- Love This
- Odnoklassniki
- Meneame
- Blogger
- Amazon
- Yahoo Mail
- Gmail
- AOL
- Newsvine
- HackerNews
- Evernote
- MySpace
- Mail.ru
- Viadeo
- Line
- Comments
- Yummly
- SMS
- Viber
- Telegram
- Subscribe
- Skype
- Facebook Messenger
- Kakao
- LiveJournal
- Yammer
- Edgar
- Fintel
- Mix
- Instapaper
- Copy Link
The emergence of technology has heightened countries’ awareness of the threats in the cyber realm. Safeguarding against multiple cyber-attacks presents a formidable challenge, particularly as it ushers in a new era for every nation. Cybersecurity significantly diverges from defence and security in the physical world, demanding skilled expertise and a robust strategy to shield countries from cybercrime. By confronting this challenge, numerous countries have taken collaborative actions.
New Zealand’s National Cyber Security Centre (NCSC) has jointly issued a cybersecurity advisory in collaboration with CERT NZ, the USA’s Cybersecurity and Infrastructure Security Agency (CISA), the National Security Agency (NSA), the Federal Bureau of Investigation (FBI), as well as the cybersecurity authorities of Australia, Canada, and the United Kingdom.
By jointly addressing and engaging with the intricate challenges of cybersecurity, these countries demonstrate their unwavering dedication to fortifying the digital foundations upon which modern societies and economies thrive. Through these collaborative initiatives, a fortified defence is erected against the relentless tide of cyber risks, encapsulating the proactive stance of each nation towards nurturing a secure and resilient digital future.
This comprehensive advisory presents insights into the primary Common Vulnerabilities and Exposures (CVEs) that malicious cyber actors routinely exploited in 2022, along with other frequently targeted CVEs.
The agencies responsible for crafting this advisory urge organisations to diligently adopt the recommendations outlined within the mitigations section of this advisory. Furthermore, they emphasise the importance of remaining vigilant by actively monitoring for any indications of compromise, even in instances where the vulnerability has been previously addressed.
The suggested mitigations encompass a range of strategic measures, including the timely application of patches to vulnerable systems. This proactive approach serves to fortify the overall security posture and reduces the susceptibility to compromise orchestrated by malicious cyber actors. A particularly effective measure proposed involves implementing a centralised patch management system. This approach streamlines the patch deployment process and acts as a robust line of defence against potential cyber threats.
The entities responsible for the creation of this advisory emphasise and strongly advocate for organisations to actively and conscientiously embrace the recommendations meticulously detailed within the mitigations section of this advisory. Moreover, these entities emphasise the imperative nature of sustained vigilance, urging organisations to continuously monitor for any signs of compromise, even when vulnerabilities have been previously addressed.
The scope of the proposed mitigations encompasses a comprehensive array of strategic measures, each carefully designed to fortify the defence mechanisms against potential cyber threats. A pivotal facet of these measures is the prompt application of patches to vulnerable systems. This proactive stance contributes to bolstering the overall security posture and curtails the susceptibility to compromise orchestrated by malevolent cyber actors.
An especially potent solution advanced in this context involves establishing a centralised patch management system. This proactive measure optimises the efficiency of patch deployment while serving as a robust line of defence against potential cyber incursions.
In essence, the collective efforts of the collaborating authoring agencies underscore the paramount importance of expeditiously enacting these recommended mitigations, representing a formidable augmentation to the resilience of cybersecurity measures. By steadfastly adhering to these strategies, organisations can tangibly elevate their capacity to repel and thwart cyber-attacks, concurrently upholding the sanctity of their digital infrastructure.
- Like
- Digg
- Del
- Tumblr
- VKontakte
- Buffer
- Love This
- Odnoklassniki
- Meneame
- Blogger
- Amazon
- Yahoo Mail
- Gmail
- AOL
- Newsvine
- HackerNews
- Evernote
- MySpace
- Mail.ru
- Viadeo
- Line
- Comments
- Yummly
- SMS
- Viber
- Telegram
- Subscribe
- Skype
- Facebook Messenger
- Kakao
- LiveJournal
- Yammer
- Edgar
- Fintel
- Mix
- Instapaper
- Copy Link
Dengan melihat perkembangan teknologi digital yang masif seperti saat ini, pelayanan yang memperhatikan pengalaman konsumen menjadi faktor diferensiasi yang unik dan penting bagi pemilik bisnis. Semakin meningkatnya interaksi melalui berbagai kanal, konsumen semakin fokus pada kepuasan yang dapat diakses dengan mudah melalui berbagai saluran.
Untuk memenuhi ekspektasi konsumen yang terus berkembang, strategi perusahaan dalam meningkatkan kepuasan pelanggan di dunia digital adalah dengan mengimplementasikan dan mengintegrasikan kecerdasan buatan (AI). Dengan memanfaatkan kekuatan AI, perusahaan dapat menganalisis data konsumen untuk mendapatkan informasi tentang preferensi, perilaku, dan kebutuhan individual, sehingga dapat menawarkan solusi yang relevan.
Melalui algoritma dalam pembelajaran mesin (ML), perusahaan dapat memberikan ide-ide produk dan promosi yang ditargetkan kepada konsumen melalui berbagai saluran, termasuk situs web, aplikasi seluler, platform media sosial, dan toko online. Chatbot dan asisten virtual berbasis AI juga berperan penting dengan menggunakan pemrosesan bahasa alami dan teknik pembelajaran mesin untuk memahami dan merespons pertanyaan pelanggan dengan cepat dan akurat.
Chatbot juga dapat meningkatkan efisiensi layanan konsumen dengan memberikan respons yang cepat dan akurat. Teknologi ini dapat menjawab pertanyaan dasar, memberikan informasi produk, memproses transaksi, dan bahkan mengatasi masalah yang dihadapi konsumen. Dengan demikian, perusahaan dapat menciptakan kepuasan pelanggan yang baik dan efektif.
Lebih lanjut, teknologi kecerdasan buatan memberikan analisis yang memungkinkan perusahaan untuk memahami minat dan pola konsumen terkait tingkat kepuasan mereka terhadap berbagai platform digital. Dengan menganalisis data konsumen yang terkumpul, ulasan, interaksi media sosial, dan informasi lainnya, perusahaan dapat mengetahui dan menyesuaikan strategi mereka sesuai dengan hasil analisis tersebut. Hal ini dapat membantu dalam mengidentifikasi area yang perlu diperbaiki, merespons masalah pelanggan, dan secara proaktif meningkatkan keseluruhan pengalaman pelanggan.
Pada tingkat ini, personalisasi pengalaman pelanggan memberikan pengalaman yang lebih menarik dan relevan, sehingga dapat meningkatkan kepuasan dan loyalitas konsumen.
Pada tanggal 19 Juli 2023, OpenGov Breakfast Insight yang diadakan di Voco Orchard Singapore akan berfokus untuk memberikan pengalaman pelanggan yang cepat, akurat, dan relevan melalui penggunaan kecerdasan buatan (AI) dan pembelajaran mesin (ML) yang canggih.
Salam Pembuka

Menurut Mohit Sagar, CEO dan Kepala Redaktur OpenGov Asia, berbagai bisnis dapat memberikan rekomendasi yang dipersonalisasi. Dengan meningkatkan pengalaman konsumen melalui personalisasi berbasis AI, bisnis dapat memberikan rekomendasi, penawaran, dan informasi yang dipersonalisasi di semua titik kontak. Pendekatan ini memungkinkan perusahaan untuk memahami preferensi, perilaku, dan kebutuhan individu konsumen, sehingga mereka dapat menyesuaikan interaksi dan penawaran sesuai dengan hal tersebut.
Dia menekankan bahwa bisnis dapat meningkatkan kepuasan pelanggan, loyalitas merek, dan pertumbuhan dengan mempelajari data pelanggan, menggunakan chatbot berbasis AI, dan mengidentifikasi prospek pendapatan baru. “AI harus menjadi prioritas jika bisnis ingin tetap kompetitif di era digital,” Mohit menekankan.
Peningkatan pengalaman pelanggan, loyalitas, dan pertumbuhan pendapatan semuanya tercapai ketika rencana omnichannel mencakup personalisasi berbasis AI dan kepuasan digital, tambahnya. Oleh karena itu, hal tersebut beradaptasi dengan kontak jarak jauh, memenuhi harapan konsumen yang berubah, melintasi berbagai industri, dan menuntut penggunaan data pelanggan secara etis.
Memanfaatkan personalisasi berbasis AI dan meningkatkan pengalaman konsumen omnichannel memberikan banyak keuntungan. Ini termasuk analisis sentimen, personalisasi berkelanjutan, chatbot dan asisten virtual, layanan pelanggan prediktif, rekomendasi produk yang dipersonalisasi, dan metrik untuk mengukur kepuasan konsumen digital. Selain itu, efisiensi, kepuasan pelanggan, dan kinerja perusahaan semuanya meningkat berkat perkembangan ini.
Mohit menambahkan bahwa menerapkan personalisasi berbasis AI dan keberlanjutan digital menghadirkan beberapa tantangan yang harus diatasi oleh bisnis. Ini meliputi tantangan privasi data, integrasi, kurangnya pengetahuan tentang pelanggan, kesenjangan pelatihan dan bakat, pertimbangan biaya dan ROI, serta isu etika. Untuk menjamin penggunaan teknologi AI yang etis dan efisien, penting untuk mengatasi hambatan-hambatan ini.
“Mohit menjelaskan bahwa solusi berbasis AI seperti personalisasi otomatis dan bantuan pelanggan melalui chatbot memberikan pengalaman omnichannel yang lebih baik dan terjangkau. Analitik prediktif untuk layanan proaktif, chatbot untuk perawatan pelanggan secara real-time, asisten suara untuk interaksi yang lancar, aksesibilitas 24/7, dan penghematan biaya melalui otomatisasi adalah beberapa contoh. Inovasi-inovasi ini melampaui harapan klien dan meningkatkan efektivitas operasional.
Bisnis memiliki banyak keuntungan dari pengalaman pelanggan omnichannel yang didukung oleh AI di masa depan. Interaksi pelanggan akan dibentuk oleh perkembangan teknologi seperti Pemrosesan Bahasa Alami (NLP), Analitik Prediktif, chatbot dan asisten virtual yang canggih, Hyper-Personalisasi, serta penggabungan Augmented Reality (AR) dan Virtual Reality (VR).
Selain itu, bisnis harus mengutamakan kepercayaan dan privasi pelanggan saat melakukan investasi dalam infrastruktur, bakat, dan teknologi untuk memanfaatkan peluang-peluang ini. Selain itu, bisnis akan mampu memenuhi harapan pelanggan dalam dunia yang semakin digital dengan merangkul inovasi-inovasi ini.
Dengan menghadirkan pengalaman yang lancar, relevan, dan berfokus pada pelanggan dimungkinkan bagi organisasi dengan personalisasi berbasis AI dan keberlanjutan digital. “Sebuah bisnis dapat memperoleh keunggulan kompetitif, meningkatkan loyalitas konsumen, dan mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan dengan memanfaatkan teknologi AI,” tutup Mohit.
Welcome Address
Pendekatan berbasis cloud untuk kolaborasi dan komunikasi memberdayakan organisasi dengan aksesibilitas, fleksibilitas, skalabilitas, keamanan, dan efisiensi biaya yang lebih tinggi dapat mendorong kerja tim yang efisien, meningkatkan produktivitas, dan memungkinkan bisnis untuk merangkul transformasi digital di lanskap bisnis yang terus berkembang saat ini.

Nathan Guy, Kepala UCaaS, Asia Pasifik, Zoom, menyebutkan bahwa Zoom menawarkan platform tunggal yang menyatukan pengalaman karyawan dan pelanggan, memberikan solusi CX dan EX yang lancar. Hal ini mencakup manajemen pusat kontak, teknologi agen virtual, obrolan dengan ahli, analisis sentimen, interaksi video yang dipersonalisasi, analitik lanjutan, dan manfaat biaya. Zoom menangani kompleksitas teknis, memungkinkan bisnis untuk fokus pada karyawan dan pelanggan mereka.
Nathan menjelaskan lebih lanjut bahwa dinamika tempat kerja yang berubah membutuhkan kerangka kerja kolaborasi yang berkembang guna memupuk hubungan pribadi dan memenuhi ekspektasi di mata pelanggan dan karyawan.
“Bisnis di seluruh dunia menghabiskan jumlah yang cukup signifikan untuk menginvestasikan keuangannya ke dalam teknologi selama pandemi guna menekankan perlunya fleksibilitas dalam transformasi teknologi. Dengan ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut dan pengurangan anggaran ketika itu, menyadarkan bahwa teknologi memiliki peran yang sangat penting dalam menjalankan suatu bisnis.
Tempat kerja masa depan berpotensi untuk mengalami peningkatan bagi tim dan pelanggan. Tiga tantangan utamanya termasuk evolusi kerangka kerja kolaborasi dan produktivitas, memupuk hubungan pribadi, dan memenuhi harapan yang diperbarui.
Sebuah laporan menyoroti terkait investasi teknologi yang signifikan selama pandemi. Menurut Nathan, dalam membangun keunggulan kompetitif, penting untuk membangun dasar yang kuat dalam transformasi teknologi.
Menurut survei Gartner, lebih dari 60% pelanggan akan mempertimbangkan untuk memindahkan bisnis mereka akibat pengalaman pelanggan yang buruk,” jelas Nathan. “Hal ini menghadirkan risiko yang signifikan bagi bisnis, dan teknologi saat ini mendorong strategi diferensiasi untuk meningkatkan pengalaman pengguna dan pelanggan
Inovasi AI Zoom difokuskan pada tiga area: mendukung produktivitas individu, memperkuat kolaborasi yang lebih baik, dan membantu tim yang berhubungan langsung dengan pelanggan meningkatkan kepuasan pelanggan. Pendekatan perusahaan terhadap AI melibatkan tiga tema utama:
- Memberdayakan: Zoom bertujuan untuk memanfaatkan AI sedemikian rupa sehingga individu dan tim dapat memaksimalkan kemampuan dan potensi mereka.
- Bertanggung jawab: Privasi, keamanan, inklusi, kepercayaan, dan keselamatan merupakan prioritas yang berkelanjutan. Mereka menekankan bahwa data pelanggan tetap berada di bawah kendali pelanggan itu sendiri, memastikan bahwa mereka memiliki otonomi untuk memutuskan bagaimana data mereka digunakan.
- Terfederasi: Mereka mengadopsi pendekatan yang fleksibel yang dapat beradaptasi dengan lanskap industri yang terus berkembang. Ini termasuk kemampuan untuk bekerja dengan model propietary, model pihak ketiga, atau bahkan model AI milik Zoom sendiri.
Zoom menawarkan portofolio Pengalaman Pelanggan yang mencakup Zoom Contact Center, Zoom Virtual Agent, dan penawaran baru Workforce Engagement Management (WEM). Zoom Virtual Agent adalah hasil akuisisi Solvvy mereka dan merupakan platform AI Percakapan yang komprehensif untuk dukungan pelanggan, layanan mandiri, dan otomatisasi.
“Investasi teknologi meningkat secara global selama pandemi, menekankan pentingnya memiliki tumpukan teknologi yang fleksibel untuk beradaptasi dengan perubahan keadaan,” kata Nathan. “Dengan ketidakpastian ekonomi yang berkelanjutan dan pemangkasan anggaran, membangun dasar yang kuat untuk tumpukan teknologi menjadi krusial untuk stabilitas dan pertumbuhan.
Mengungkap potensi tempat kerja masa depan melibatkan penanganan tantangan kunci, termasuk evolusi kerangka kerja kolaborasi dan produktivitas, membina hubungan pribadi, dan memenuhi harapan tim dan pelanggan yang diperbarui.
Selain itu, Nathan menekankan bahwa infrastruktur teknologi yang sukses harus mencakup elemen-elemen kunci seperti pendekatan awan dan mobile-first, mengutamakan keterlibatan karyawan, mendorong fleksibilitas, memungkinkan kolaborasi secara real-time, mempromosikan kesejahteraan emosional untuk tim yang sehat, dan memastikan pelatihan, pengembangan, dan manajemen perubahan yang efektif untuk menghasilkan hasil positif.
Nathan menyadari bahwa fondasi yang kokoh sangat penting untuk platform kolaborasi, dan Zoom telah mengembangkan berbagai solusi komunikasi dan kolaborasi yang dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan beragam pekerja pengetahuan, departemen, dan industri. Perusahaan ini telah melakukan investasi yang signifikan dalam bidang kecerdasan buatan (AI) untuk meningkatkan pengalaman kolaborasi di seluruh solusinya.
Fokus utama adalah melayani berbagai audiens, dengan pelanggan dan karyawan mereka berada di puncak hierarki. Semua inovasi dan peluncuran bertujuan untuk memberdayakan organisasi dan pelanggan mereka agar dapat berkembang dalam era kerja baru.
“Tim yang berhubungan langsung dengan pelanggan perlu mengatasi berbagai tantangan untuk memberikan pengalaman pelanggan yang luar biasa,” Nathan mengetahui hal ini dengan baik. “Dengan memberdayakan tim-tim ini menjadi ahli dalam bidangnya, bisnis dapat memberikan pengalaman yang dipersonalisasi yang membuat pelanggan senang.”
Dengan itu, Nathan menyatakan bahwa platform kolaborasi dibangun di atas teknologi inti yang menjadi fondasinya. Zoom telah mengembangkan berbagai solusi komunikasi dan kolaborasi yang disesuaikan dengan kebutuhan pekerja pengetahuan, departemen, dan industri yang berbeda. Perusahaan ini telah berinvestasi secara signifikan dalam AI untuk meningkatkan pengalaman kolaborasi di semua solusinya.
“Tim yang berhadapan langsung dengan pelanggan perlu mengatasi berbagai tantangan untuk memberikan pengalaman pelanggan yang luar biasa. Dengan memberdayakan tim ini untuk menjadi ahli dalam bidang mereka, bisnis dapat menyediakan pengalaman yang dipersonalisasi yang memuaskan pelanggan,” ulang Nathan.

Jayraj Nair, Customer Experience Lead-ASEAN, Zoom, menambahkan bahwa tujuannya adalah menggabungkan semua inovasi produk ke dalam solusi yang terpadu yang memberdayakan pekerja pengetahuan dan tim, memfasilitasi kolaborasi baik secara internal maupun dengan pelanggan eksternal untuk pertumbuhan bisnis.
Organisasi layanan pelanggan sedang aktif menanggapi permintaan untuk saluran interaksi digital, yang menekankan kebutuhan mendesak untuk adaptasi cepat dan pergeseran strategis guna mengatasi tren dan prioritas baru ini dengan efektif. Prediksi Gartner mengenai peningkatan pengeluaran oleh CIO sejalan dengan pentingnya transformasi digital, kecerdasan buatan (AI), dan keamanan, mencerminkan perkembangan lanskap yang sedang berlangsung.
Temuan menunjukkan bahwa organisasi yang menyediakan pengalaman total yang menghubungkan karyawan dan pelanggan diproyeksikan mengungguli pesaing dalam metrik kepuasan sebesar 25% baik dalam Customer Experience (CX) maupun Employee Experience (EX) pada tahun 2024.
Namun, ketika strategi Employee Experience (EX) dan Customer Experience (CX) dikembangkan secara terpisah, atau ketika saluran-saluran individual memiliki Key Performance Indicators (KPI) yang terpisah, memberikan pengalaman pelanggan yang konsisten dan luar biasa menjadi menantang.
Mengakui keterkaitan antara EX dan CX serta menyelaraskan strategi sesuai dengan hal tersebut dapat menghasilkan pengalaman yang lebih lancar dan memuaskan baik bagi karyawan maupun pelanggan. Akibatnya, mengintegrasikan produktivitas karyawan dan pengalaman pelanggan diharapkan menjadi tren yang menonjol untuk tahun 2023.
Salah satu tantangan utama dalam memberikan pengalaman pelanggan yang luar biasa (CX) adalah adanya tim yang bekerja terpisah dengan menggunakan alat yang berbeda, yang menghambat komunikasi dan kolaborasi yang efektif. Namun, sebuah laporan menyebutkan bahwa pada tahun 2026, sekitar 60% perusahaan besar akan memanfaatkan konsep total experience untuk mengubah model bisnis mereka dan mencapai tingkat kepercayaan pelanggan dan karyawan yang lebih tinggi.
Jayraj menyoroti bahwa Zoom menawarkan kemampuan end-to-end untuk Employee Experience (EX) dan Customer Experience (CX) melalui platform Zoom berbasis cloud. Perusahaan ini telah menunjukkan inovasi produk dan ekspansi yang luar biasa, dengan merilis lebih dari 1.500 fitur dan produk baru hanya dalam tahun 2022.
Zoom menyediakan paket solusi kolaborasi yang komprehensif, termasuk Zoom Phone, Zoom Events, Webinars, Meetings, Zoom Spaces, dan alat pengembang. Mereka juga menawarkan produk CX seperti Zoom Contact Centre, Zoom Virtual Agent, dan Zoom IQ.
“Dengan Zoom, bisnis dapat menghindari kompleksitas membangun dan memelihara beberapa solusi, sehingga mereka dapat fokus pada karyawan dan pelanggan mereka,” jamin Jayraj kepada peserta.
Selain itu, Zoom Contact Centre, solusi Video-First Omnichannel Contact Centre-as-a-Service (CCaaS), termasuk dalam platform Zoom. Ini memungkinkan bisnis untuk memberikan pengalaman pelanggan yang cepat, efisien, dan sangat personal yang mendorong loyalitas dan retensi.
Zoom Contact Centre menggabungkan komunikasi yang terpadu dengan pengalaman pelanggan, memungkinkan bisnis untuk berinteraksi dengan pelanggan secara alami dan efisien. Fitur-fitur seperti routing berbasis keterampilan yang canggih dan virtual agent yang cerdas meningkatkan kemampuan untuk memberikan pengalaman seperti layanan konci dalam skala besar.
Jayraj menekankan bahwa Zoom Virtual Agent yang beroperasi 24/7 melalui berbagai saluran dukungan, memastikan pengalaman pelanggan yang cepat dan personal, mengurangi volume panggilan untuk agen manusia, dan menghasilkan efisiensi operasional yang signifikan. Ini dapat diintegrasikan dengan Zoom Contact Centre serta solusi CRM dan contact centre terkemuka lainnya.
Chatbot ini memberikan interaksi awal yang luar biasa, dan jika diperlukan, dapat dilakukan transisi yang lancar ke agen manusia. Oleh karena itu, dapat memperpendek siklus penjualan, meningkatkan pendapatan, dan meningkatkan keterlibatan pelanggan.
“Semua inovasi ini menunjukkan komitmen Zoom untuk menyediakan solusi komprehensif yang memenuhi kebutuhan organisasi yang terus berkembang dalam meningkatkan EX dan CX,” Jayraj menyimpulkan.
End-User Insight

Seiring dengan berjalannya transformasi zaman ke dunia digital, semakin tinggi pula ekspektasi konsumen terhadap sebuah pengalaman pelanggannya. Dalam hal pelayanan, orang-orang menginginkan interaksi yang lancar tanpa hambatan, keamanan yang baik, dan akses mudah ke informasi pelayanan.
Dengan solusi pengalaman pelanggan (CX) dari MasterCard, pelanggan dapat menghilangkan hal-hal yang tidak efektif seperti penolakan kartu ketika digesek atau untuk memberikan keamanan digital yang ketat.
Ashutosh Sharan, Vice President Customer Solutions Asia Tenggara di MasterCard, menyatakan bahwa saat ini MasterCard dilengkapi dengan MasterCard Identity Check™, yaitu sebuah fitur baru yang memungkinkan klien untuk memverifikasi akun tanpa hambatan yang bertele-tele. Selain itu, fitur tersebut dapat memperkuat keamanan dan menyederhanakan pengalaman pengguna secara langsung, dengan berbagi informasi lebih lanjut antara penerbit kartu dan pedagang selama proses otentikasi.
“Dalam kehidupan sehari-hari, klien kami selalu dihadapi oleh banyak pilihan pembayaran. Oleh karena itu, cara terbaik untuk meningkatkan keterlibatan dan melindungi loyalitas adalah dengan menyediakan alat yang lebih baik,” ungkap Sharan.
MasterCard sendiri menyediakan inisiasi berupa MasterCard Controls and Alerts. Alat ini merupakan solusi yang diberikan pada pemegang kartu yang membantu konsumen mengelola akun mereka. Sharan menambahkan bahwa tersedia pula Ethoca Consumer Clarity™, yang menyediakan alat bagi penerbit kartu untuk menawarkan detail pembelian kepada pemegang kartu dalam aplikasi perbankan digital mereka atau melengkapi agen pusat panggilan untuk mengatasi pertanyaan pelanggan. Sharan mengatakan bahwa kedua alat ini dapat membantu mencegah penipuan serta sekaligus menjadi Unique Selling Product (USP) dari MasterCard itu sendiri.
Salah satu strategi yang diadopsi oleh MasterCard untuk meningkatkan pelayanan pelanggan adalah dengan memaksimalkan penggunaan data. Data memiliki peran yang krusial dalam memahami kebutuhan dan preferensi konsumen, serta membantu dalam menghadirkan pengalaman pelanggan yang lebih personal dan relevan.
MasterCard mengumpulkan dan menganalisis data yang diperoleh dari berbagai sumber, termasuk transaksi pembayaran, interaksi pelanggan, dan perilaku konsumen. Dengan memanfaatkan teknologi canggih seperti pemrosesan big data dan kecerdasan buatan (AI), MasterCard dapat menghasilkan wawasan yang mendalam tentang perilaku konsumen dan tren pasar.
Dengan memahami data dengan baik, MasterCard dapat mengidentifikasi pola-pola pembelian, preferensi produk, dan kebutuhan konsumen secara individu. Informasi ini memungkinkan perusahaan untuk menawarkan solusi yang lebih tepat sasaran dan memberikan rekomendasi yang relevan kepada konsumen.
Selain itu, penggunaan data juga membantu MasterCard dalam mengidentifikasi potensi kecurangan dan aktivitas yang mencurigakan. Melalui analisis data yang cermat, MasterCard dapat mengenali pola-pola transaksi yang tidak biasa atau tidak wajar, sehingga dapat mengambil tindakan pencegahan yang diperlukan untuk melindungi konsumen dan meminimalkan risiko keamanan.
Dengan memaksimalkan penggunaan data, MasterCard dapat mengoptimalkan operasionalnya untuk memberikan pelayanan pelanggan yang lebih baik. Data yang dianalisis dengan saksama membantu perusahaan memahami kebutuhan pelanggan dan memberikan solusi yang memenuhi harapan mereka.
Selain itu, data juga digunakan untuk melacak dan memantau kinerja layanan pelanggan, sehingga memungkinkan MasterCard untuk mengidentifikasi area yang perlu ditingkatkan dan mengambil langkah-langkah perbaikan yang diperlukan. Dengan menganalisis data pelanggan, perusahaan dapat melihat pola kepuasan pelanggan, memahami masalah yang dihadapi, dan merespons dengan cepat untuk meningkatkan pengalaman pelanggan secara keseluruhan.
Salam Penutup
Menurut Jayraj, penting bagi industri untuk mengidentifikasi tantangan agar tetap kompetitif dan berkembang di era bisnis yang terus berubah dengan cepat. Tantangan ini dapat berbeda-beda tergantung pada industri masing-masing, seperti disrupsi teknologi, perubahan harapan konsumen, persaingan bisnis, perubahan regulasi, dan ketidakpastian ekonomi.
Setelah mengidentifikasi tantangan-tantangan tersebut, perusahaan dapat merancang strategi yang tepat untuk menghadapinya secara langsung. Strategi ini bisa mencakup kombinasi inovasi, fleksibilitas, kolaborasi, dan pendekatan yang berfokus pada konsumen.
Jayraj mengakui bahwa para peserta acara ini telah memberikan wawasan berharga tentang tantangan signifikan yang dihadapi oleh berbagai industri. Dengan adanya pemahaman ini, industri terkait dapat lebih memahami cara mengatasi tantangan tersebut.
“Memahami tantangan utama yang dihadapi oleh industri dan mengembangkan strategi yang tepat untuk menghadapinya adalah kunci untuk keberhasilan jangka panjang perusahaan,” jelasnya. Jayraj menambahkan bahwa dengan menerapkan inovasi, fleksibilitas, kolaborasi, dan pendekatan yang berfokus pada konsumen, industri dapat menghadapi tantangan, mengejar peluang, dan berkembang di tengah perubahan yang cepat.
Dalam konteks yang sama, Mohit juga menekankan pentingnya kolaborasi dalam menghadapi tantangan industri. Dengan membangun kemitraan dan kerjasama dengan organisasi dan perusahaan lain, industri dapat menggabungkan dan memanfaatkan sumber daya, keahlian, dan pengetahuan untuk menghadapi tantangan secara lebih efektif bersama-sama.
Mohit menjelaskan bahwa pendekatan yang berfokus pada konsumen sangat penting dalam menghadapi tantangan industri dengan sukses. Dengan memahami dan memenuhi kebutuhan dan harapan konsumen yang terus berkembang, industri dapat menciptakan produk, layanan, dan pengalaman yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.
“Perusahaan dapat menganalisis data pelanggan untuk menciptakan penawaran produk yang personal guna meningkatkan kepuasan dan loyalitas pelanggan,” simpul Mohit.
- Like
- Digg
- Del
- Tumblr
- VKontakte
- Buffer
- Love This
- Odnoklassniki
- Meneame
- Blogger
- Amazon
- Yahoo Mail
- Gmail
- AOL
- Newsvine
- HackerNews
- Evernote
- MySpace
- Mail.ru
- Viadeo
- Line
- Comments
- Yummly
- SMS
- Viber
- Telegram
- Subscribe
- Skype
- Facebook Messenger
- Kakao
- LiveJournal
- Yammer
- Edgar
- Fintel
- Mix
- Instapaper
- Copy Link
Researchers have embarked on a new advanced imaging (MRI) Technology. This advanced technology enables clear visualisation of soft tissues like the brain, muscles, and ligaments, as well as the ability to detect tumours, facilitating the diagnosis of numerous diseases and conditions.
However, traditional MRI machines are expensive and bulky due to their powerful magnets, limiting their usage primarily to hospitals and extensive facilities.
To overcome these limitations, companies are developing portable versions of MRI machines with lower-strength magnetic fields. These innovative models have the potential to revolutionise the applications of MRI.
For example, low-field MRI systems could be utilised in ambulances and other mobile settings, expanding access to timely diagnoses. Moreover, these portable machines are expected to be more affordable, making MRI more accessible to underserved communities and developing nations.
Further investigation is required to fully exploit the capabilities of low-field MRI scanners, particularly in comprehending the correlation between low-field images and the corresponding properties of the underlying tissue.
The National Institute of Standards and Technology (NIST) has been actively engaged in various research endeavours to advance low-field MRI technology and establish reliable techniques for generating images using weaker magnetic fields.
Kalina Jordanova, an Electrical Engineer at NIST, explained that the magnetic strength employed in MRI directly affects the characteristics of tissue images. With low-field MRI systems, the image contrast varies, necessitating a comprehensive understanding of how human tissue appears at these lower magnetic field strengths.
The researchers utilised a commercially available portable MRI machine to conduct brain imaging on five male and female volunteers. The imaging process involved employing a magnetic field strength of 64 millitesla, at least 20 times weaker than the magnetic field used in conventional MRI scanners.
During the imaging sessions, they captured comprehensive brain images and gathered data on three distinct components:
- Grey matter (which contains a high concentration of nerve cells)
- White matter (the deeper brain tissues housing nerve fibres)
- Cerebrospinal fluid (the clear fluid surrounding the brain and spinal cord)
The low magnetic field affected these three constituents of the brain differently, generating distinct signals that reflected their unique properties. As a result, the MRI system produced images that contained quantitative information about each component.
Katy Keenan, a Biomedical Engineer at NIST, emphasised that understanding the quantitative properties of the tissue allows the development of novel image collection strategies for this particular MRI system.
Separately, NIST researchers are also exploring various potential materials that can significantly enhance image quality in low-field MRI scans. MRI contrast agents, which are magnetic materials injected into patients to enhance image contrast, are crucial in helping radiologists identify anatomical features and signs of diseases.
These agents are commonly used in MRI scans with conventional magnetic field strengths. However, their usage with the new low-field MRI scanners is still being explored by researchers. At lower magnetic field strengths, the behaviour of contrast agents may differ from that at higher field strengths, presenting opportunities to utilise new magnetic materials for image enhancement.
Scientists from NIST and their collaborators conducted a study comparing the sensitivity of various magnetic contrast agents in low magnetic fields. The results indicated that iron oxide nanoparticles outperformed traditional contrast agents of gadolinium, a rare-earth metal. Remarkably, the nanoparticles provided satisfactory contrast at a concentration approximately one-ninth that of gadolinium particles.
An additional advantage of iron oxide nanoparticles is that they are broken down by the human body, eliminating the potential risk of accumulating in tissues. Samuel Oberdick, a Researcher at NIST, highlighted that, in contrast, gadolinium may accumulate in tissues, which could complicate the interpretation of future MRI scans if not considered carefully.
- Like
- Digg
- Del
- Tumblr
- VKontakte
- Buffer
- Love This
- Odnoklassniki
- Meneame
- Blogger
- Amazon
- Yahoo Mail
- Gmail
- AOL
- Newsvine
- HackerNews
- Evernote
- MySpace
- Mail.ru
- Viadeo
- Line
- Comments
- Yummly
- SMS
- Viber
- Telegram
- Subscribe
- Skype
- Facebook Messenger
- Kakao
- LiveJournal
- Yammer
- Edgar
- Fintel
- Mix
- Instapaper
- Copy Link
Singapore-Shanghai economic connections have grown further, with two-way commerce expanding by 8% in 2022 to approximately S$20 billion. To build on this and develop deeper partnerships between the two cities, the recently concluded 4th Singapore-Shanghai Comprehensive Cooperation Council (SSCCC) conference signed 15 agreements in a variety of fields.
This is the first physical conference of the Provincial Business Council (PBC) between Singapore and China since the COVID-19 pandemic, and the first SSCCC meeting hosted in Singapore.
Singapore and Shanghai, as well as the larger Yangtze River Delta (YRD) region, agreed to boost trade and investment links. The two nations also committed to strengthening bilateral cooperation in the digital and green economies, as well as to deepen existing strong relationships in financial services and innovation.
The 4th SSCCC meeting saw a record number of 15 agreements signed between Singapore and Shanghai covering interests such as people-to-people exchanges, financial services, technology and innovation, as well as emerging areas such as the digital economy.
At the 4th SSCCC conference, the Infocomm Media Development Authority (IMDA) and the Shanghai Municipal Commission of Economy and Informatisation signed a memorandum of agreement (MoU) to increase collaboration in areas such as digital connectivity, digital utilities, and innovation.
Partner companies of two nations that design and build e-government solutions are also joined together to improve cross-border trade through digitalisation. The Singapore Ministry of Law, the Shanghai Municipal Bureau of Justice, the Law Society of Singapore, and the Shanghai Bar Association also signed an MOU under the people-to-people exchanges workgroup to promote regular interactions between lawyers from both cities.
Enterprise Singapore (EnterpriseSG), in collaboration with the Singapore Chinese Chamber of Commerce and Industry’s Singapore Enterprise Centre (Shanghai), organised a month-long Singapore Showcase of 38 lifestyle and retail brands at Shanghai’s exhibition centre Hongqiao Pinhui to raise awareness and visibility of Singapore brands.
The inaugural Singapore-China YRD Joint Innovation Call programme finished successfully under the technology and innovation workgroup, with more than 50 project applications submitted in sectors such as digital and green economies, healthcare and urban solutions.
Participants of the 4th SSCCC meeting also witnessed the collaboration between IPI Singapore and the National Eastern Tech-Transfer Centre, which will catalyse more two-way exchanges and drive demand-led innovation by matching problem statements with solutions from Singapore and Shanghai companies.
Also, Singapore and Shanghai saw strong exchanges in financial services, with the United Overseas Bank (UOB) becoming the first foreign bank to open a Free Trade Zone sub-branch in Lingang; Green Link Digital Bank and Bank of China Asset Management officially launching operations in Singapore in June and December 2022, respectively, and Guotai Junan Futures opening in February this year.
Participants at the 4th SSCCC summit reiterated their pledges to the global climate change agenda and committed to seeking additional meaningful partnerships in sustainability, building on the recent success in green finance collaboration.
Singapore, for example, is eager to collaborate with Shanghai to promote increased cross-border green and transition finance to help the region’s transition, as well as to trial green and digital solutions in improving global maritime supply chains. Singapore enterprises are also looking at pilot projects in Shanghai connected to green construction and urban revitalisation.
Singapore and Shanghai have strong and progressive ties that are supported by strong partnerships in financial services, technology, and innovation, as well as expanding collaborations in developing digital and green economies.