Search
Close this search box.

We are creating some awesome events for you. Kindly bear with us.

Menuju Kolaborasi Keamanan Siber di ASEAN melalui Kerjasama Publik-Swasta

Getting your Trinity Audio player ready...

Jika melihat masa lalu, peran pengendalian keamanan tradisional seperti militer angkatan udara, darat, dan laut sudah menjadi tanggung jawab utama pemerintah dalam menghadapi berbagai ancaman dari luar, seperti perebutan wilayah, aksi terorisme, atau bahaya fisik lainnya. Akan tetapi, dalam Panel Diskusi ASEAN Cyber Security Forum di Kuala Lumpur Malaysia, yang dipandu oleh Mohit Sagar selaku CEO dan Kepala Redaktur OpenGov Asia, menyatakan bahwa konsep keamanan saat ini telah mengalami perluasan. Kini, keamanan tidak hanya terbatas pada aspek fisik semata, melainkan juga merambah ke ranah keamanan siber yang menjadi titik perubahan yang signifikan dalam cara sebuah negara harus mengendalikan dan melindungi diri di era digital ini.

Mohit dengan tegas menggarisbawahi bahwa jika sebelumnya peran utama pemerintah adalah dalam melindungi negara dari ancaman fisik, maka kini keamanan siber menjadi tanggung jawab seluruh entitas di berbagai sektor. Ancaman-ancaman siber dapat muncul dari berbagai sumber, termasuk peretasan data, serangan siber, dan penyebaran informasi palsu yang dapat mengganggu stabilitas suatu negara dan masyarakatnya.

Pentingnya keamanan siber ini juga diakui oleh Shariffah Rashidah Syed Othman, yang menjabat sebagai Acting Chief Executive di National Cyber Security Agency of Malaysia (NACSA). Dalam diskusi tersebut, Shariffah menyatakan bahwa kerjasama antar entitas, baik pemerintah, sektor swasta, maupun masyarakat sipil, merupakan hal penting yang harus dilakukan untuk secara efektif menghalau ancaman-ancaman siber yang dapat muncul sewaktu-waktu.

Sebagai salah satu penduduk ASEAN, Shariffah mengatakan bahwa pentingnya kerja sama kolaboratif di tingkat domestik atau negara tidak bisa diabaikan. Dalam era globalisasi dan interkoneksi yang semakin erat, tantangan dan peluang yang dihadapi oleh suatu negara tidak hanya bersifat lokal, tetapi juga melibatkan wilayah regional dan internasional. Oleh karena itu, menghimpun para pemangku kepentingan dari berbagai lapisan masyarakat dan sektor menjadi suatu keharusan untuk mencapai kesepakatan yang holistik dan berkelanjutan.

“Kerjasama yang solid dan saling mendukung antarentitas akan memungkinkan pembentukan pertahanan siber yang tangguh dan adaptif, siap merespons dan mencegah ancaman-ancaman siber yang terus berkembang,” ungkap Shariffah.

Dalam konteks Asia, peran ASEAN sebagai organisasi regional memainkan peran kunci dalam menyatukan pandangan dari negara-negara anggotanya. ASEAN telah menjadi platform penting untuk berdialog, bernegosiasi, dan mencari solusi bersama terhadap berbagai isu yang berkaitan dengan politik, ekonomi, keamanan, dan sosial di kawasan tersebut. Dalam konteks ini, menyatukan pandangan nasional dengan pandangan ASEAN menjadi langkah penting untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan dan mencerminkan kepentingan bersama.

Kolaborasi Antar Entitas Membuka Kesempatan Bertumbuh Lebih Cepat

Shamsul Bahri Hj Kamis ∶ Kepercayaan adalah hal yang penting ketika berkolaborasi

Ketika semua panelis sepakat terkait premis kerjasama dan kolaborasi, kemudian, muncullah sebuah pertanyaan terkait cara mengharmonisasikan berbagai entitas di ASEAN untuk dapat mencapai tujuan yang sama, terutama dalam lanskap keamanan siber.

Dalam hal ini, Mohit memberikan kesempatan kepada Shamsul Bahri Hj Kamis selaku Interim Commissioner di Cybersecurity, Brunei CSB, untuk menjawab.

Shamsul menekankan bahwa seluruh entitas perlu mengkaji lebih lanjut mengenai mekanisme-mekanisme yang telah ada saat ini. Seperti misalnya, pada tahun 2017, anggota ASEAN telah mengambil langkah maju dengan mengadopsi strategi kerja sama keamanan siber. Hal ini menandakan adanya rencana objektif untuk periode lima tahun ke depan yang bertujuan mengatasi tantangan keamanan siber di kawasan ASEAN.

Kebijakan ini bertujuan untuk mengatasi tantangan komunikasi yang muncul dari beragam kelompok sektoral dalam ASEAN yang bekerja dalam bidang keamanan siber. Ini menjadi tantangan yang cukup kompleks karena proses pengambilan keputusan di ASEAN berbasis konsensus, yang terkadang dapat menghambat kemajuan.

Akan tetapi, berbagai langkah untuk mengatasi keamanan siber di ASEAN sudah berlangsung. Tim Tanggap Darurat Komputer ASEAN (ASEAN CERT), yang mengkoordinasikan respons terhadap insiden keamanan siber, dan Program Kapasitas Keamanan Siber ASEAN, yang memberikan pelatihan dan bantuan kepada negara-negara anggota ASEAN dalam mengembangkan kemampuan keamanan siber mereka, adalah dua contohnya.

“Untuk melangkah maju, ASEAN harus merumuskan strategi untuk lebih efektif berbagi informasi dan berkolaborasi dalam mengatasi ancaman siber yang paling serius,” jelas Shamsul. “Ini akan memerlukan kerja sama yang erat antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat sipil.”

Shamsul melanjutkan bahwa upaya ASEAN untuk melancarkan komunikasi yang saat ini terkait dengan keamanan siber menunjukkan komitmen mereka dalam meningkatkan koordinasi dan efektivitas dalam menangani isu-isu terkait.

“Langkah ini penting karena menghadapi ancaman siber yang semakin kompleks dan meluas memerlukan sinergi dari seluruh anggota untuk meningkatkan keamanan dan melindungi infrastruktur serta data penting dari serangan siber yang dapat mengganggu stabilitas dan perkembangan di kawasan ini,” ungkapnya.

Lebih jauh, Shamsul menegaskan bahwa ASEAN harus memperkuat kerangka kerja dari kerja sama regional yang melibatkan negara-negara anggotanya dalam berbagi informasi, pengalaman, dan sumber daya terkait keamanan siber. Selain itu, kerja sama juga harus diperluas ke sektor swasta, lembaga akademis, dan organisasi masyarakat sipil yang memiliki peran dan kepentingan dalam menciptakan ekosistem keamanan siber yang kokoh dan berdaya tahan.

Kolaborasi dapat Memperkuat Keamanan Siber secara Kolektif

David Koh ∶ Menyelaraskan motivasi antar entitas dapat menciptakan kerjasama produktif

David Koh selaku Komisioner Cybersecurity and Chief Executive di Cyber Security Agency (CSA) Singapura mengafirmasi pendapat Shamsul dan Shariffahterkait inklusivitas kolaborasi keamanan siber.

Sebagai negara yang berambisi ingin menjadi pusat keamanan global (cyber security hub), Singapura juga sudah berupaya untuk secara aktif melibatkan akademisi dan masyarakat sipil dalam upaya keamanan siber kolaboratif dalam memanfaatkan upaya dan sumber daya mereka juga. David menegaskan bahwa tanggung jawab keamanan siber bukan merupakan tanggung jawab individu, melainkan ini merupakan tanggung jawab kolektif, secara nasional maupun internasional.

Akan tetapi, David menekankan bahwa upaya kolaborasi ini tentu akan menemui tantangan tersendiri. Mengingat setiap entitas memiliki perspektif dan motivasi yang berbeda, maka diperlukan strategi untuk dapat menyelaraskan motivasi-motivasi tersebut sehingga mereka dapat bekerja sama. Entitas atau pihak-pihak yang terlibat perlu saling berpindah peran seperti menukar peran antara industri dan pemerintah.

Pertukaran peran antara industri dan pemerintah menjadi cara untuk memahami perspektif satu sama lain dengan lebih baik. Industri dapat mengambil peran pemerintah untuk memahami tantangan dan kompleksitas dalam mengelola kebijakan dan regulasi untuk mencapai tujuan keamanan dan kesejahteraan publik. Sementara pemerintah dapat memainkan peran angkah untuk memahami tekanan dan tantangan yang dihadapi oleh perusahaan dalam menciptakan inovasi dan pertumbuhan ekonomi.

Dalam menghadapi perbedaan pandangan dan motivasi, kunci pentingnya adalah mencari titik temu dan kesamaan tujuan.

Sejauh ini, David sudah memulai untuk mengimplementasikan inklusifitas kemanan siber ini. Seperti contohnya, David telah menciptakan program untuk membantu UKM dalam memperkuat posisi keamanan siber mereka. Salah satu inisiatif ini adalah melalui Cyber Essentials, yang menawarkan seperangkat langkah keamanan siber dasar yang harus diikuti oleh semua perusahaan.

Cyber Essentials mencakup empat area penting, termasuk:

  1. Manajemen aset: Ini mencakup kesadaran tentang keamanan siber bagi karyawan, dan mengklasifikasikan serta mengidentifikasi setiap aset di perusahaan, termasuk perangkat keras, perangkat lunak, dan data.
  2. Akses yang Aman dan Perlindungan: Ini melibatkan pembatasan siapa yang memiliki akses dan apa yang dapat mereka lakukan dengan sumber daya perusahaan.
  3. Pembaruan, Cadangan, dan Tanggap. “UKM dapat memulai dengan mengadopsi Cyber Essentials sebagai langkah awal untuk memperkuat posisi keamanan siber mereka,” kata David. “Namun, ini hanya pembatasan awal, dan UKM mungkin perlu menerapkan langkah-langkah tambahan berdasarkan persyaratan dan ancaman yang khusus.”

Jika UKM ingin memperkuat posisi keamanan siber mereka, mereka harus memulai dengan Cyber Essentials,” kata David.

Penting untuk diingat bahwa ini hanya pembatasan dasar. Bergantung pada persyaratan dan bahaya khusus mereka, UKM mungkin perlu menerapkan langkah-langkah tambahan, dan CSA bersedia untuk berbagi kerangka kerja mereka dengan mitra regional seperti Malaysia dan Brunei.

Selain Cyber Essentials, CSA juga menyediakan berbagai alat untuk mendukung UKM dalam meningkatkan pertahanan keamanan siber mereka. Sumber daya ini mencakup program pelatihan keamanan siber yang disesuaikan untuk UKM, hotline keamanan siber yang didedikasikan, dan daftar konsultan keamanan siber bersertifikasi yang dapat membimbing UKM dalam mengimplementasikan Cyber Essentials secara efektif.

Dengan memanfaatkan alat-alat CSA ini, UKM dapat secara signifikan memperkuat pertahanan keamanan siber mereka dan melindungi bisnis mereka dari ancaman online, memastikan keamanan dan perlindungan terhadap aset berharga dan informasi sensitif mereka.

Selain inisiatif CSA, UKM dapat memperkuat posisi keamanan siber mereka melalui berbagai langkah, termasuk memastikan pembaruan perangkat lunak secara berkala, yang seringkali mencakup patch keamanan penting untuk melindungi dari kerentanannya yang diketahui. Individu dapat meningkatkan keamanan siber mereka dengan menggunakan kata sandi yang kuat dan perangkat lunak pengelola kata sandi, sementara organisasi dapat memberi pendidikan kepada staf mereka tentang ancaman keamanan siber.

“Kita harus berusaha menyelaraskan motivasi dan kepentingan antara masyarakat dan pemerintah sehingga dapat menciptakan lingkungan kerja sama yang produktif,” tekan David.

Melakukan dialog terbuka dan inklusif, serta komitmen untuk mencari solusi yang saling menguntungkan, merupakan prioritas yang harus diimplementasikan guna mencapai tujuan kolaborasi yang efektif. Akan tetapi, sebuah kolaborasi tentu akan tercipta ketika setiap orang saling melakukan pertukaran kemampuan.

Peningkatan Kecakapan Digital Literasi Terhadap Tenaga Kerja

Shariffah Rashidah Syed Othman ∶ Masing-masing individu harus memiliki empati untuk terciptanya kolaborasi

Dalam diskusi tersebut, Shariffahmenjelaskan bahwa istilah siber merupakan istilah baru belakangan ini. Terkadang, tidak semua individu berbicara dalam bahasa yang sama, terutama bagi orang-orang teknologi yang benar-benar memahami tentang keamanan siber dan orang awam secara umum. Shariffah mencoba memberikan penyederhanaan sebuah cerita dari rekan kerjanya yang kesulitan dalam memahami ekosistem digital.

“Rekan kerja saya kesulitan memahami ekosistem digital dan keamanan siber. Dengan demikian, saya terdorong untuk memiliki rasa empati terhadap mereka,” ungkapnya.

Shariffahmenyadari bahwa tidak hanya organisasi yang harus peduli tentang keamanan siber, tetapi setiap individu juga harus memiliki peran dan tanggung jawab dalam menjaga keamanan diri mereka sendiri dan lingkungan digital yang mereka kelola.

Lebih jauh, Shariffahmenjelaskan bahwa untuk mendorong kolaborasi dan rasa empati tersebut, ASEAN dapat menerapkan 3 inisiatif dengan mengintegrasikannya kepada setiap pilar ASEAN dalam upaya menghadapi tantangan keamanan siber.

Langkah pertama penting yang telah diambil adalah pendirian Pusat Pembangunan Keamanan Siber (Cyber Security of Building Centre). Beberapa diantaranya sudah diterapkan di Singapura serta Thailand yang bermitra dengan Jepang.

Pusat ini dapat menjadi wadah kolaboratif bagi negara-negara ASEAN untuk meningkatkan kapabilitas keamanan siber mereka. Dengan kerjasama lintas batas ini, ASEAN dapat memperkuat pertahanan dan respons kolektif terhadap ancaman siber yang semakin kompleks belakangan ini.

Langkah kedua adalah dengan mengadakan latihan keamanan siber lintas batas, yang melibatkan berbagai negara ASEAN. Melalui latihan ini, ASEAN dapat menguji dan meningkatkan kesiapannya dalam menghadapi ancaman siber yang melintasi batas negara.

“Namun, perlu diingat bahwa keamanan siber tidak hanya mengenai melindungi diri kita sendiri, tetapi juga melibatkan perlindungan terhadap tetangga kita. Tindakan yang kita lakukan saat ini, baik di pemerintahan maupun sektor swasta, akan berdampak pada generasi mendatang. Oleh karena itu, kita harus bertanggung jawab dan berkomitmen untuk menciptakan ekosistem keamanan siber yang kuat dan berkelanjutan,” jelas Sharifarashida.

Selain itu, juga melakukan evaluasi dari berbagai aspek secara teknis dan non-teknis dalam latihan ini. Diskusi tentang kemungkinan eskalasi ancaman ke tingkat yang lebih tinggi juga telah dimulai. Dengan demikian, ASEAN dapat bersiap menghadapi segala kemungkinan tantangan yang dapat muncul dalam keamanan siber.

Langkah ketiga adalah dengan membentuk kerangka strategi untuk membangun mekanisme ketahanan siber ASEAN.

Dalam mencapai tujuan ini, Malaysia juga telah berdiskusi tentang pentingnya membangun kerangka kerja keamanan siber yang tepat untuk ASEAN. Hal ini mencakup pengembangan mekanisme yang sesuai untuk sertifikasi Keamanan Siber Nasional Regional ASEAN (RCN certs). Dengan memiliki kerangka kerja yang solid, organisasi dapat meningkatkan kerjasama dan koordinasi antara negara-negara anggota ASEAN dalam menghadapi tantangan keamanan siber yang kompleks.

Diskusi pagi yang dipandu oleh Mohit semakin menarik ketika ia menyoroti tantangan utama dalam mengimplementasikan kolaborasi, yaitu bagaimana meyakinkan individu agar mau dan mampu melakukan kerja sama. Masalah ini adalah inti dari upaya menciptakan kerangka kerja yang kokoh untuk memperkuat kolaborasi antarentitas dalam menghadapi isu-isu keamanan dan tantangan terkini.

Terkadang, mungkin ada ketidakpercayaan, perbedaan kepentingan, atau bahkan rasa ketakutan dalam bekerja sama. Seperti misalnya, ketika siap untuk melakukan kolaborasi, ada beberapa pihak yang mungkin belum sepenuhnya percaya untuk berbagi informasi kepada pihak lain. Tentu ini menjadi penghalang dalam melakukan kolaborasi.

Dengan demikian, Mohit percaya bahwa diperlukan pendekatan yang bijaksana untuk merangkul semua pihak dan memastikan bahwa keuntungan dan manfaat dari kolaborasi melebihi kerugian atau risiko yang dirasakan.

Shamsul memulai untuk menanggapi isu tersebut. Ia meyakini bahwa kepercayaan adalah hal yang sangat penting terutama ketika kita ingin berkolaborasi, terutama dalam dunia yang berubah-ubah dan dinamis, tentu dibutuhkan waktu untuk memperoleh kepercayaan.

Namun, tentu saja, beberapa inisiatif sudah dilakukan oleh beberapa negara ASEAN. Salah satu inisiatif yang telah dimulai adalah yang disebut ASEAN Partners Search Information Sharing. Inisiatif ini digagas oleh Cyber Security Agency of Singapore yang mendorong semua pemilik sertifikat keamanan siber ASEAN untuk berbagi informasi mengenai ancaman di ruang siber mereka dengan pihak-pihak yang terlibat.

Hal ini sejalan dengan adopsi atau penerimaan oleh semua negara anggota ASEAN, di mana setiap anggota perlu menjaga sebanyak mungkin kebersihan ruang siber dan mencegah ruang siber dari serangan atau dampak pada infrastruktur informasi kritis. Inilah wadah di mana kepercayaan dapat ditingkatkan.

Di sini, penting untuk menyadari bahwa kepercayaan dalam berbagi informasi atau pengetahuan yang signifikan tidak dapat dianggap remeh. Proses berbagi ini harus dilakukan melalui mekanisme formal yang tepat dan terpercaya, sehingga setiap pihak merasa nyaman dan yakin bahwa data yang mereka berikan akan dikelola dengan aman dan sesuai dengan tujuan bersama.

Salah satu cara untuk memperkuat kepercayaan ini adalah melalui pembuatan platform yang menjadi milik bersama. Dengan mendirikan platform yang dikelola secara bersama-sama, setiap anggota dapat merasa memiliki dan berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan terkait penggunaan dan akses informasi. Pengelolaan bersama ini juga mencerminkan nilai-nilai kolaboratif dan transparansi, di mana semua pihak berkontribusi pada keamanan dan keberhasilan platform tersebut.

Mohit menyoroti David Koh terkait upaya yang sudah dilakukan Singapura dalam menjalin kolaborasi dan inklusivitas keamanan siber antar publik-swasta. David menjelaskan bahwa CSA Singapura sendiri sudah menjalin kerja sama dengan beberapa perusahaan teknologi. Salah satu di antaranya adalah mitra kerjasama mereka yang siap berbagi informasi intelijen mengenai ancaman dan detail teknis.

Dengan dukungan informasi tersebut, mereka dapat berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan terkait untuk mendapatkan detail teknis, termasuk Indicators of Compromise (Iocs) yang dapat diberikan kepada perusahaan-perusahaan untuk memeriksa jaringan CSA Singapura sendiri dan memastikan apakah ada indikasi serangan siber terhadap CSA.

David menyadari bahwa CSA tidak dapat melakukannya sendiri. Akan tetapi berkat kemitraan dengan perusahaan teknologi swasta yang memberi mereka informasi, mereka akhirnya dapat mengimplementasikannya dalam lingkungan CSA.

David menegaskan bahwa hal ini merupakan bagian dari upaya inisiatif ASEAN CERT dalam kerangka keamanan siber ASEAN yang lebih luas. Selain itu, David melihat bahwa hal-hal semacam ini dapat dijadikan platform untuk mengadaptasi gagasan-gagasan dan pengalaman yang telah diuji coba agar dapat diimplementasikan dengan seluruh negara anggota ASEAN lainnya.

David sadar betul bahwa semua negara anggota ASEAN berada dalam lingkungan yang sama, dengan populasi sekitar 650 juta orang. Kekuatan bersama ASEAN terletak pada kerjasama antara negara-negara tersebut. Ia percaya bahwa jika pendekatan ini dapat diterapkan dan semua negara bekerja sama, maka kesatuan ASEAN dalam menghadapi ancaman siber akan semakin kuat.

Seluruh panelis dalam diskusi, termasuk Mohit sendiri sebagai moderator, tampaknya telah mencapai kesepakatan atau memiliki pandangan yang sama mengenai pentingnya keamanan siber di wilayah ASEAN. Dengan demikian, Mohit mempertanyakan terkait bagaimana ide ini dapat ditangkap oleh masyarakat umum dan bagaimana meningkatkan kesadaran keamanan siber di anatar mereka.

Sebagai tuan rumah dalam acara ASEAN Cyber Security Forum 2023, Mohit meminta ShariffahSai Othman untuk memberikan paparan terkait hal ini.

Shariffahmenegaskan bahwa setiap insiden yang terjadi dalam bidang keamanan siber, baik itu ransomware, pelanggaran data, serangan Distributed Denial of Service (DDoS), atau bentuk serangan lainnya, seringkali disebabkan oleh kendali keamanan yang tidak efektif. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya faktor manusia. Oleh karena itu, konsep “human firewall” menjadi sangat penting dalam melindungi dari ancaman siber.

Human firewall adalah konsep keamanan siber yang mengacu pada peran aktif dan proaktif dari individu sebagai bentuk pertahanan pertama dalam melindungi organisasi atau lingkungan dari ancaman siber. Konsep ini mengakui bahwa setiap individu yang terlibat dalam penggunaan teknologi dan akses ke jaringan memiliki peran kunci dalam menjaga keamanan dan privasi data.

Sebagai human firewall, setiap anggota organisasi diharapkan untuk menjadi waspada terhadap potensi ancaman siber, seperti serangan I, atau upaya peretasan. Mereka diberdayakan untuk mengenali dan melaporkan aktivitas mencurigakan, serta untuk mengikuti praktik keamanan terbaik dalam penggunaan perangkat dan data.

Mengembangkan human firewall adalah suatu proses yang melibatkan edukasi, pelatihan, dan kesadaran tentang keamanan siber. Individu diajarkan untuk mengidentifikasi tanda-tanda serangan siber, memahami risiko keamanan, dan mengambil tindakan pencegahan yang tepat. Hal ini juga melibatkan pembentukan budaya keamanan di dalam organisasi, di mana setiap anggota tim merasa bertanggung jawab dan berkontribusi untuk menjaga keamanan informasi.

Penting untuk mengenali bahwa ancaman siber dapat berasal dari berbagai sumber dan memiliki metode yang terus berkembang. Oleh karena itu, pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan adalah kunci dalam menjaga human firewall yang efektif. Organisasi perlu mengadakan pelatihan rutin, sesi pengembangan, dan ujian keamanan siber untuk memastikan bahwa anggota tim tetap up-to-date dengan tren dan taktik terbaru dalam dunia siber.

Selain itu, kolaborasi dan berbagi informasi tentang ancaman siber juga merupakan bagian penting dari mengembangkan human firewall yang kuat. Ketika individu dan organisasi berbagi pengetahuan tentang serangan yang mereka alami atau temui, hal ini membantu meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan secara keseluruhan.

Pentingnya human firewall tidak hanya berdampak pada tingkat individu atau organisasi, tetapi juga pada tingkat nasional. Jika setiap organisasi memiliki human firewall yang kuat, potensi ancaman siber terhadap infrastruktur dan data negara dapat terminimalisir. Oleh karena itu, upaya untuk mengembangkan human firewall harus menjadi prioritas bagi seluruh entitas yang terlibat dalam dunia digital saat ini.

Sebelumnya, David sudah menjelaskan pentingnya replikasi belajar dari praktik-praktik sukses di negara-negara atau organisasi tertentu terkait keamanan siber ke negara-negara ASEAN. Akan tetapi, Shariffahmenyangkal bahwa keamanan siber tidak bisa diterapkan dengan satu pendekatan yang sama untuk semua negara, sebab keamanan siber melibatkan pemahaman tentang perilaku manusia dan aspek budaya yang terkait negara tersebut. Oleh karena itu, perlu kembali kepada dasar-dasar bagaimana perilaku manusia berinteraksi dengan budaya dan masyarakatnya untuk memperkuat praktik keamanan siber di masing-masing negara.

Dalam konklusinya, Shariffahjuga menekankan kembali bahwa upaya kolektif diperlukan, melibatkan tidak hanya pemerintah tetapi juga sektor swasta, LSM, dan pemangku kepentingan lainnya. Peran mereka sangat penting bukan hanya untuk memberikan dukungan, tetapi juga dalam membangun kolaborasi dengan pemerintah dan menuntut perbaikan lebih lanjut.

Seperti yang telah disebutkan dalam diskusi panel, pemerintah mungkin tidak memiliki semua jawaban dalam hal keamanan siber, dan membangun kepercayaan menjadi sangat penting.

“Kepercayaan itu rapuh; butuh waktu dan usaha untuk dibangun namun mudah untuk hancur,” ungkapnya.

Lebih lanjut, dalam membangun dan menjaga kepercayaan antarkelompok, transparansi menjadi kunci. Komunikasi terbuka dan keterlibatan yang berkelanjutan di antara semua pemangku kepentingan adalah penting dalam menciptakan lingkungan di mana risiko siber dapat diidentifikasi dan ditangani dengan efektif.

Dengan bekerja sama, berbagi pengetahuan, dan membudayakan kerja sama, negara-negara ASEAN dapat memperkuat pertahanan keamanan siber mereka dan secara kolektif melawan ancaman siber. Pendekatan ini tidak hanya memberdayakan individu dan organisasi untuk proaktif melindungi diri mereka sendiri, tetapi juga membangun ekosistem keamanan siber yang lebih kuat dan tangguh di seluruh kawasan di ASEAN.

PARTNER

Qlik’s vision is a data-literate world, where everyone can use data and analytics to improve decision-making and solve their most challenging problems. A private company, Qlik offers real-time data integration and analytics solutions, powered by Qlik Cloud, to close the gaps between data, insights and action. By transforming data into Active Intelligence, businesses can drive better decisions, improve revenue and profitability, and optimize customer relationships. Qlik serves more than 38,000 active customers in over 100 countries.

PARTNER

CTC Global Singapore, a premier end-to-end IT solutions provider, is a fully owned subsidiary of ITOCHU Techno-Solutions Corporation (CTC) and ITOCHU Corporation.

Since 1972, CTC has established itself as one of the country’s top IT solutions providers. With 50 years of experience, headed by an experienced management team and staffed by over 200 qualified IT professionals, we support organizations with integrated IT solutions expertise in Autonomous IT, Cyber Security, Digital Transformation, Enterprise Cloud Infrastructure, Workplace Modernization and Professional Services.

Well-known for our strengths in system integration and consultation, CTC Global proves to be the preferred IT outsourcing destination for organizations all over Singapore today.

PARTNER

Planview has one mission: to build the future of connected work. Our solutions enable organizations to connect the business from ideas to impact, empowering companies to accelerate the achievement of what matters most. Planview’s full spectrum of Portfolio Management and Work Management solutions creates an organizational focus on the strategic outcomes that matter and empowers teams to deliver their best work, no matter how they work. The comprehensive Planview platform and enterprise success model enables customers to deliver innovative, competitive products, services, and customer experiences. Headquartered in Austin, Texas, with locations around the world, Planview has more than 1,300 employees supporting 4,500 customers and 2.6 million users worldwide. For more information, visit www.planview.com.

SUPPORTING ORGANISATION

SIRIM is a premier industrial research and technology organisation in Malaysia, wholly-owned by the Minister​ of Finance Incorporated. With over forty years of experience and expertise, SIRIM is mandated as the machinery for research and technology development, and the national champion of quality. SIRIM has always played a major role in the development of the country’s private sector. By tapping into our expertise and knowledge base, we focus on developing new technologies and improvements in the manufacturing, technology and services sectors. We nurture Small Medium Enterprises (SME) growth with solutions for technology penetration and upgrading, making it an ideal technology partner for SMEs.

PARTNER

HashiCorp provides infrastructure automation software for multi-cloud environments, enabling enterprises to unlock a common cloud operating model to provision, secure, connect, and run any application on any infrastructure. HashiCorp tools allow organizations to deliver applications faster by helping enterprises transition from manual processes and ITIL practices to self-service automation and DevOps practices. 

PARTNER

IBM is a leading global hybrid cloud and AI, and business services provider. We help clients in more than 175 countries capitalize on insights from their data, streamline business processes, reduce costs and gain the competitive edge in their industries. Nearly 3,000 government and corporate entities in critical infrastructure areas such as financial services, telecommunications and healthcare rely on IBM’s hybrid cloud platform and Red Hat OpenShift to affect their digital transformations quickly, efficiently and securely. IBM’s breakthrough innovations in AI, quantum computing, industry-specific cloud solutions and business services deliver open and flexible options to our clients. All of this is backed by IBM’s legendary commitment to trust, transparency, responsibility, inclusivity and service.